Kamis, 24 Desember 2015

Kisah Abu Ibrahim Woyla Menjelang Tsunami Aceh 26 Desember 2004.

0

SEMBILAN_Tahun silam, 15 hari sebelum bencana besar gempa bumi dan gelombang Tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Waliyullah Almarhum Abu Ibrahim Woyla mengabarkan kepada muridnya yang bernama Mukhlis perihal akan datangnya bencana besar itu.
Namun, hanya kepada dua muridnya yang kerap mengikutinya ia beritahukan dan ia melarang memberitahukan kepada orang lain. Hanya saja Mukhlis diperintahkan untuk segera mengajak keluarganya menjauhi bibir pantai.
Mukhlis, pria yang sudah berkepala tiga yang kini sering bermukim di Dayah Bustanul Huda atau Dayah Pulo Ie, Desa Dayah Baro, Calang, menceritakan kembali keseharian Abu sebelum Tsunami meluluh lantakkan Aceh. Abu tidak seperti hari-hari sebelumnya, ia sudah jarang makan dan terlihat gusar. Pernah suatu waktu Mukhlis dipanggil oleh Abu untuk memberitahukan perihal bencana besar. Saat itu, Mukhlis masih menuntut ilmu di Dayah Peulanteu, Aceh Barat.
“Rayeuk that buet uke nyoe, siberangkaso yang buka rahasia Allah maka kafee lah jih kafee (besar sekali kerja ke depan, dan siapa saja yang membuka rahasia Allah maka dia kafir-red),” begitu kata Mukhlis menirukan ucapan Abu Ibrahim kepadanya.
Mukhlis juga mendengar hal yang sama dari Abu Usman yang masih ada hubungan dekat dengan Abu Ibrahim Woyla. Bahkan kepada orang tuanya sendiri Mukhlis tidak memberitahukan apa yang sudah ia ketahui.
“Di lapangan Blang Bintang kapai akan jipoe uroe malam, di laot Ulee Lheuh (tidak disebut Ulee Lheue) akan na kapai laot ubee lapangan bola, dalam kapai nyan ureung puteh-puteh; (di Bandara Blang Bintang pesawat akan terbang siang malam, di laut Ulee Lhee akan ada kapal laut sebesar lapangan bola, di dalamnya orang putih-putih-red),” ucap Mukhlis lagi mengutip perkataan Abu Usman.
Kata Mukhlis, sejak kata-kata tersebut diucapkan oleh Abu Ibrahim, keseharian Abu seperti berubah, bahkan jika sedang tidur malam hari, sering Abu tiba-tiba terbangun dan langsung duduk berzikir. Melihat ini, perasaan Mukhlis pun semakin cemas, dalam hatinya ia merasa kalau peristiwa besar sudah semakin dekat.
“Lon kalon dari sikap Abu, lon na firasat sang ata yang geupeugah le Abu ka to that (Saya lihat sikap Abu, saya punya firasat bahwa apa yang dikatakan Abu sudah sangat dekat-red),” jelas Mukhlis.
Entah apa yang terpikirkan oleh Abu, empat hari sebelum gempa bumi dan Tsunami di Aceh, Abu Ibrahim mengajak Mukhlis ke Banda Aceh. Dengan mobil pinjaman, Mukhlis menyupiri Abu hingga ke Banda Aceh. Di Banda Aceh, mereka menginap di salah satu rumah di kawasan Blower.
“Na geulakee le po rumoh beu geuteem eh Abu meusimalam bak rumoh gob nyan (ada permintaan dari yang punya rumah agar Abu Ibrahim berkenan bermalam semalam saja di rumahnya-red),” kata Mukhlis.
Mukhlis menambahkan, saat di sana, sewaktu makan pun Abu tidak makan lagi, Abu mengepal nasinya menjadi tiga bagian, setelah Abu makan sedikit satu bagian dari kepalan nasinya, kemudian seluruhnya Abu berikan kepadanya untuk dimakan.
Pada esoknya, Kamis pagi 23 Desember 2006, Abu berkata kepada Mukhlis jika ia ingin jalan-jalan keliling Kota Banda Aceh. Tanpa membantah, dengan mobil pinjamannya Mukhlis pun membawa Abu jalan-jalan.
Setelah sarapan alakadarnya di warung samping Simbun Sibreh (deretan Satnarkoba Polda Aceh-red), lalu Abu meminta Mukhlis untuk membawanya ke kawasan Peulanggahan. Tiba di depan mesjid Tgk Di Anjong, Abu minta mobil dihentikan di luar pagar mesjid.
“Abu geu ngeing u arah makam Tgk Di Anjong, sang-sang Abu teungoh geupeugah haba, kadang Abu teukhem keudroe (Abu menatap ke arah makam Tgk Di Anjong, seolah-olah Abu berbicara, sesekali Abu tersenyum sendiri-red),” jelas Mukhlis saat dijumpa di Dayah Pulo Ie yang sedang dalam pembangunan.
Mukhlis mengetahui persis garis keturunan Abu Ibrahim Woyla. Awalnya garis ke atas keturunan Abu Ibrahim Woyla yang berasal dari Negeri Baghdad berjumlah tujuh orang datang ke Tanah Aceh, persisnya berlabuh di Aceh Barat. Kemudian, ketujuhnya berpisah ke beberapa daerah di Aceh dan di luar Aceh untuk menyebarkan agama Islam.
syukran.. .

As-Suhrawardi, Sufi Allah yang di pancung

0

Di jagat tasawuf, dikenal sebuah paham yang disebut “Isyraq”. Paham ini meyakini, Allah adalah Nurus Samawati wal Ardi (cahaya langit dan Bumi) sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 35. Dari Nur Allah itulah lahir cahaya-cahaya yang lain di alam semesta dan di jagat rohaniah. Paham ini juga dikenal sebagai paham Iluminatif (pencerah), dan terpengaruh oleh paham-paham Filsafat. Karena itu Prof. Dr. Hamka menyebutnya sebagai filsafat Isyraq.

As-Suhrawardi filsuf besar yang pertama kali mencetuskan paham Isyraq. Ada tiga sufi yang namanya mirip: As-Suhrawardi, Abu An-Najib As-Suhrawardi, dan Abu Hafs Syihabuddin As-Suhrawardi Al-Baghdadi, yang terakhir ini adalah pengarang kitab Awarif al-Maarif.

As-Suhrawardi yang nama aslinya Abul Futuh Yahya bin Habsyi bin Amrak, lahir di Suhrawardi, Zanda, Persia utara, pada 549 H / 1129 M. seperti Al-Hallaj, ia juga di bunuh oleh penguasa. Itu sebabnya ia dijuluki Al-Maqtul (yang terbunuh).

Suhrawardi lahir di lingkungan keluarga yang taat beribadah. Seperti halnya sufi atau ulama besar lainnya, sejak kecil ia juga belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti Al-Qur’an dan fikih. Juga seperti sufi yang lain, catatan perjalanan kehidupannya sangat sedikit diketahui orang. Menurut pengamat sufi Mehdi Amin Razali, Suhrawrdi hidup di suatu zaman ketika muncul kebutuhan untuk menyatukan kembali ilmu pengetahuan Islam dengan memadukan berbagai mazhab. Ditengah perdebatan intelektual itulah muncul pemikiran Suhrawrdi tentang Isyraq, yang antara lain meyakini bahwa wacana filosofis merupakan bagian dari perjalanan spritual seseorang.

Dalam buku tokoh-tokoh sufi, tauladan dan kehidupan yang saleh, Prof. Dr. H. Ahmadi Isa MA, menulis, Suhrawardi terkenal sebagai pengembara yang gandrung menuntut ilmu. Ia berguru kepada sejumlah ulama dan pakar dalam berbagai ilmu pengetahuan. Di Marga Azarbaijan, Asia Tengah, ia belajar fikih dan filsafat kepada Syekh Majduddin Al-Jilli, seorang fukaha yang termasyhur kala itu. Di Isfahan, Iran, ia belajar Mantiq (logika) kepada Ibnu Shlan As-Sawi pengarang kitab Al-Basair An-Nasiriyah. Selain itu juga tercatat belajar filsafat India, Persia dan Yunani. Menurut seorang pengikutnya, pengetahuan Suhrawrdi sangat dalam, dan sangat menguasai ilmu hikmah alias filsafat dan fikih. Ia juga sangat fasih dalam ungkapan.

As-Suhrawrdi merintis perjalanan sufistisnya sejak bergabung dengan para sufi dalam kehidupan asketisnya. Beberapa tahun bergelut dengan ajaran-ajaran sufi, setelah itu ia mengembara mengunjungi sejumlah ulama dan pakar di Aleppo Damaskus, Anatolia, sampai ke Azarbaijan. Terakhir ia melakukan perjalanan ke Halb, belajar tasawuf kepada sufi besar As-Syafir Iftikharuddin.

Suhrawardi juga termasuk sufi besar yang produktif membukukan pikiran-pikirannya. Karya-karyanya yang dianggap monumental, antara lain, Hikmah al-Isyraq. Al-Muqawwamat dan Al-Mutaribat, salah satu kitab yang banyak diperbincangkan ialah Hikamh al-Isyraq. Memuat berbagai pandangannya perihal filsafat Isyraq atau Iluminatif. Karya-karyanya yang lain, rata-rata dalam sebuah kitab yang tipis, Hikayat An-Nur, Alwah wa Imadiyah. Partaw Nama, Fil I’tikad al-Hukama, Al-Lahamat, Bustan al-Qulub – sebagian besar di tulis dalam bahasa arab. Sementara karya-karyanya dalam bahasa Persia banyak dipuji sebagai karya sastra yang indah. Karya yang lain, diantaranya, Aqil Surkh, Awazi Par-I Jabarail, Al-Qissah Al-Ghurbah al-Gharbiyah, Lugati Muran, Risalah fil Hallah al-Tufuliyyah, Ruzi Ba Jamaah Sufiyan, Safir Simurg dan Risalah fi Mikraj.

Ada pula karya Suhrawardi, Risalah yang bersifat Filosofis, berupa terjemahan karya Ibnu Sina, berjudul Risalah Tayr, dan komentar mengenai karya Ibnu Sina dalam bahasa Persia, Isyraf wa Tanbihat. Juga sebuah risalah berjudul Risalah fi Haqiqah al-‘Isyq, didasarkan pada karya Ibnu Sina berjudul Risalah fil ‘Isyq. Ada juga karyanya yang memuat doa, dzikir, wirid, berjudul Al-Waridat wa Taqdisat.

Banyak pandangan As-Suhrawardi yang di ikuti para sufi, misalnya ucapannya yang terkenal, “Semua yang menyenangkan anda, seperti hak milik, perabotan dan kenikmtan duniawi, dan hal-hal yang serupa itu, lemaprkanlah. Jika resep ini anda ikuti, penglihatan anda akan tercerahkan.” Pandangan lain yang juga terkenal, “Ketika mata batin terbuka, mata lahir harus di tutup, bibir harus di kunci, dan lima indra lahir harus dibungkam. Indra batin hendaknya mulai berfungsi, sehingga jika ia mencapai sesuatu, melakukakannya dengan jasad batin, jika mendengar, dia mendengar dengan telinga batin.”

Salah satu peristiwa yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan Suhrawardi ialah saat kematiannya. Ia meninggal di tiang gantungan dalam sebuah upacara pengadilan yang digelar oleh Sultan Salahuddin Al-Ayyubi, dari dinasti Bani Saljuk – gara-gara ajarannya dianggap sesat. Di tengah kemasyhurannya sebagai seorang ulama tasawuf dan cendikiawan, pendapat-pendapatnya memang sering memancing kontroversi. Seperti pandangan-pandangan Al-Hallaj maupun Junaid Al-Baghdadi, pendapat Suhrawardi sering dianggap menyimpang sehingga memancing polemik yang berkepanjangan.

Sebelum di adili, ia dipanggil oleh pangeran Zahir bin Salahuddin Al-Ayyubi untuk mempertanggung jawabkan ajarannya dalam forum debat terbuka yang dihadiri Teolog dan Fukaha. Dalam debat itu, ia berhasil mempertahankan argumentasinya, sehingga pangeran Zahir pun memaafkannya, bahkan belakangan bersahabat dengannya, tapi akibatnya hal itu memancing rasa iri dan dengki.

Maka berseliweranlah fitnah dan hasutan ke alamat Suhrawardi. Bahkan ada yang sempat yang mengirim surat ke Sultan Shalahuddin yang memperingatkan perihal “Kesesatan” ajaran Suhrawardi. Celakanya sang Sultan malah memerintakan Pangeran Zahir putranya, agar menghukum Suhrawardi. Zahir segera menggelar sidang, membicarakan hukuman bagi sang sufi, keputusan pun jatuh: Suhrawardi di jatuhi hukuman pancung. Itu terjadi pada tahun 587 H / 1167 M. ketika Suhrawardi berusia 38 tahun. Mungkin karena ia korban persekongkolan politik, makamnya pun tidak diketahui.

Tapi, justru karena hukuman itu nama Suhrawardi semakin melejit, masyarakat menggelarinya dengan sebutan Al-Maqtul (tokoh yang terbunuh). Ia memang telah dibunuh, jasadnya telah dibuang, tapi pikiran-pikirannya yang cemerlang tetap hidup hingga kini, bahkan sepanjang zaman.

Kisah Ulama yang Berpura-pura Jadi Pengemis

1

Pakaiannya compang-camping, lusuh, kusam. Ia berjalan dengan bantuan tongkat dan berpura-pura pincang. Rambut dan jenggotnya dibuat semrawut. Dengan tampang meyakinkan, tak akan ada seorang pun yang tahu bahwa ia adalah pengemis palsu. Benar, tak ada satu pun warga yang menguak identitas aslinya. Ia merupakan seorang ulama dari Andalusia (saat ini Spanyol dan negara sekitar), Imam Baqi bin Mikhlad.

Saat itu ia ingin sekali belajar pada salah satu imam empat, Imam Ahmad. Ia pun berangkat dari Eropa, menyeberangi Laut Tengah menuju Afrika, kemudian melanjutkan perjalanan panjang ke Baghdad, Irak, tempat tinggal Imam Ahmad. Tanpa kendaraan, Baqi yang saat itu masih berstatus penuntut ilmu menempuh perjalanan panjang dengan berjalan kaki. Hanya satu tujuannya, berguru pada sang imam.

Namun, Baqi mendengar kabar mengejutkan begitu tiba di Baghdad. Khalifah yang berkuasa saat itu jauh dari jalan Islam yang hanif. Imam Ahmad yang vokal pada kebenaran pun bereaksi menasihati khalifah. Namun, sang imam yang sangat mengagungkan Alquran dan sunah justru difitnah hingga dikucilkan. Ia juga dilarang mengajar ataupun mengumpulkan para penuntut ilmu. Imam Ahmad dianggap menentang paham yang dianut kekhalifahan. Sedihlah hati Baqi mendengar kondisi Imam Ahmad, guru yang diharapkannya memberikan ilmu barang satu ayat.


                                                                        ****


Kendati demikian, Baqi tetap mencari rumah Imam Ahmad. Tekadnya untuk berguru telah bulat. Ia pun melangkahkan kaki ke rumah sang imam. Saat mengetuk pintu, ternyata Imam Ahmadlah yang membukakannya. "Wahai Abu Abdullah, saya seorang yang datang dari jauh, pencari hadis dan penulis sunah. Saya datang ke sini pun untuk melakukan itu," ujar Baqi antusias.

"Anda dari mana?" tanya Imam Ahmad.
"Dari Maghrib al-Aqsa," jawab Baaqi.
Imam Ahmad pun menebak, "Dari Afrika?"

"Lebih jauh dari Afrika. Untuk menuju Afrika saya melewati laut dari negeri saya," jawab Baqi.

Imam pun kaget mendengarnya, "Negeri asalmu begitu jauh. Aku sangat senang jika dapat memenuhi keinginanmu dan mengajar apa yang kamu inginkan. Akan tetapi, saat ini saya tengah difitnah dan dilarang mengajar," jawab Imam Ahmad.


                                                                  ****


Tak putus asa mendengarnya, Keinginan Baqi untuk berguru pada Imam Ahmad tak mampu dibendung. Ia pun menawarkan berpura-pura menjadi pengemis. "Saya tahu Anda tengah difitnah dan dilarang mengajar wahai Abu Abdillah, akan tetapi tak ada yang mengenal saya di sini, saya sangat asing di tempat ini. Jika Anda mengizinkan, saya akan mendatangi rumah Anda setiap hari dengan mengenakan pekaian pengemis. Saya akan berpura-pura meminta sedekah dan bantuan Anda setiap hari. Maka wahai Abu Abdillah, masukkanlah saya ke rumah dan berilah saya pengajaran meski hanya satu hadis," pinta Baqi berbinar.

Melihat tekadnya yang begitu bulat dan amat giat menuntut ilmu, Imam Ahmad pun menyanggupi. Namun, ia meminta syarat agar Baqi tak mendatangi tempat kajian hadis ulama selain Imam Ahmad. Hal tersebut dimaksudkan agar Baqi tak dikenal sebagai penuntut ilmu. Statusnya sebagai penuntut ilmu sementara dirahasiakan.

Mendengar kesanggupan sang Imam, Baqi pun begitu bahagia. Ia segera menyanggupi persyaratan itu. Hati Baqi saat itu benar-benar dipenuhi bunga-bunga mekar nan indah. Keesokan hari, Baqi pun mulai 'beraksi'. Ia mengambil sebuah tongkat, membalut kepala dengan kain, dan pernak-pernik pengemis lain. Sementara itu, sebuah buku dan alat tulis berada di balik baju samarannya itu.

Ketika berada di depan pintu Imam Ahmad, Baqi dengan nada melas akan berkata, "Bersedekahlah kepada orang miskin agar mendapat balasan pahala dari Allah," ujarnya. Jika mendengarnya, Imam Ahmad segera membukakan pintu dan memasukkan Baqi ke dalam rumahnya. Di dalam rumah, dimulailah proses pengajaran ilmu yang amat diberkahi Allah itu. Demikian aktivitas itu dilakukan setiap hari oleh Baqi dan sang guru. Dari proses belajar diam-diam itu, Baqi mampu mengumpulkan 300 hadis dari Imam Ahmad.


                                                                ****


Hingga kemudian jabatan kekhalifahan berganti. Seorang Suni yang fakih beragama, al-Mutawakkil, naik menjabat sebagai khalifah. Sejak itu, sunah pun dibumikan kembali, bid'ah peninggalan khalifah sebelumnya segera dihapuskan. Imam Ahmad pun kembali menjadi ulama Muslimin. Kajiannya dibuka, para penuntut ilmu berbondong-bondong datang.

Sejak itu, kedudukan Imam Ahmad makin tinggi dan terkenal. Jumlah muridnya sangat banyak. Jika ia membuka majelis kemudian melihat Baqi, maka Imam Ahmad segera memanggil Baqi dengan gembira. Imam Ahmad akan meminta Baqi untuk duduk di samping beliau. "Inilah orang yang benar-benar menyandang gelar penuntut ilmu," ujar Imam Ahmad kepada para muridnya. Sang Imam pun mengisahkan pengalaman Baqi yang menyamar menjadi pengemis demi mendengar satu hadis. Baqi pun kemudian menjadi murid dekat Imam Ahmad. Ia di kemudian hari menjadi ulama terkenal dari kawasan Andalusia.

Kisah tersebut nyata terjadi dan ditulis dalam biografi Imam Baqi bin Miklad al-Andalusi. Dari kisah tersebut, tampak jelas kegigihan beliau dalam menuntut ilmu. Kegigihan inilah yang patut dicontoh Muslimin, terutama para pemuda. Apalagi menuntut ilmu dalam Islam itu hukumnya wajib. Rasulullah juga pernah bersabda, "Barang siapa berjalan dalam rangka menuntut ilmu maka akan dimudahkan jalannya menuju surga." (HR. Muslim).
 syukran. . . 

Kisah Imam Al-Ghazali Berguru Kepada Tukang Sol Sepatu

0

Suatu malam disaat orang sedang terlelap, Syekh Abdul Wahab Rokan yang saat itu masih muda dan sedang berguru kepada Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabbal Qubis Makkah sedang membersihkan kamar mandi Gurunya menggunakan kedua tangannya tanpa merasa jijik dan melakukan dengan penuh ikhlas. Di saat Beliau melakukan tersebut, tiba-tiba Guru Syekh Sulaiman Zuhdi lewat dan berkata, “Kelak tanganmu akan di cium raja-raja dunia”. Ucapan Gurunya itu dikemudian hari terbukti dengan banyak raja yang menjadi murid Beliau dan mencium tangan Beliau salah satunya adalah Sultan Musa al-Muazzamsyah, Raja di Kerajaan Langkat, Sumatera Utara.
Kisah berguru dalam ilmu hakikat mempunyai keunikan tersendiri, seperti kisah Sunan Kalijaga yang menjaga tongkat Gurunya dalam waktu lama, dengan itu Beliau lulus menjadi seorang murid. Berikut kisah Ulama Besar Imam Al-Ghazali memperoleh pencerahan bathin bertemu dengan pembimbing rohaninya, kisah ini saya di kutip dari Buku Tuntunan Mencapai Hidayah Ilahi hal. 177, 178. Karya Imam Al Ghazali  dari webdokumenpemudatnqn.net.
Imam Ghazali seorang Ulama besar dalam sejarah Islam, hujjatul islam yang banyak hafal hadist  Nabi SAW. Beliau dikenal pula sebagai ahli dalam filsafat dan tasawuf  yang banyak mengarang kitab-kitab.
Suatu ketika Imam Al Ghazali menjadi imam disebuah masjid . Tetapi saudaranya yang bernama Ahmad tidak mau berjamaah bersama Imam Al Ghazali lalu berkata kepadanya ibunya :
Wahai ibu, perintahkan saudaraku Ahmad agar shalat mengikutiku, supaya orang-orang tidak menuduhku selalu bersikap jelek terhadapnya“.
Ibu Al Ghazali lalu memerintahkan puteranya Ahmad agar shalat makmum kepada saudaranya Al Ghazali. Ahmad pun melaksanakan perintah sang ibu, shalat bermakmum kepada Al Ghazali.Namun ditengah-tengah shalat, Ahmad melihat darah membasah perut Imam. Tentu saja Ahmad memisahkan diri.
Seusai shalat Imam Al Ghazali bertanya kepada Ahmad, saudaranya itu : “Mengapa engkau memisahkan diri (muffaragah) dalam shalat yang saya imami ? “.  Saudaranya menjawab : “Aku memisahkan diri, karena aku melihat perutmu berlumuran darah “.
Mendengar jawaban saudaranya itu, Imam Ali Ghazali mengakui, hal itu mungkin karena dia ketika shalat hatinya sedang mengangan-angan masalah fiqih yang berhubungan haid seorang wanita yang mutahayyirah.
Al Ghazali lalu bertanya kepada saudara : “Dari manakah engkau belajar ilmu pengetahuan seperti itu ?” Saudaranya menjawab, “Aku belajar Ilmu kepada Syekh Al Utaqy AL-Khurazy yaitu seorang tukang jahit sandal-sandal bekas (tukang sol sepatu) . ” Al Ghazali lalu pergi kepadanya.
Setelah berjumpa, Ia berkata kepada Syekh Al khurazy : “Saya ingin belajar kepada Tuan “. Syekh itu berkata : Mungkin saja engkau tidak kuat menuruti perintah-perintahku “.
Al Ghazali menjawab : “Insya Allah, saya kuat “.
Syekh Al Khurazy berkata : “Bersihkanlah  lantai ini “.
Al Ghazali kemudian hendak dengan sapu. Tetapi Syekh itu berkata : “Sapulah (bersihkanlah) dengan tanganmu“. Al Ghazali menyapunya lantai dengan tangannya, kemudian dia melihat kotoran yang banyak dan bermaksud menghindari kotoran itu.
Namun Syekh berkata : “Bersihkan pula kotoran itu dengan tanganmu“.
Al Ghazali lalu bersiap membesihkan dengan menyisingkan pakaiannya. Melihat keadaan yang demikian itu Syekh berkata : “Nah bersìhkan kotoran itu dengan pakaian seperti itu” .
Al Ghazali menuruti perintah Syekh Al Khurazy dengan  ridha dan tulus.
Namun ketika Al Ghazali hendak akan mulai melaksanakan perintah Syekh tersebut, Syekh langsung mencegahnya dan memerintahkan agar pulang.
Al Ghazali pulang dan setibanya di rumah beliau merasakan mendapat ilmu pengetahuan luar biasa. Dan Allah telah memberikan Ilmu Laduni atau ilmu Kasyaf yang diperoleh dari tasawuf atau kebersihan qalbu kepadanya.
syukran . . .

Kisah Ulama Sufi : Jauhi Sifat Berburuk Sangka dan Bangga diri (Ujub)

0

أًلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

Segala puji bagi Allah, Tuhan sekelian alam. Selawat serta salam buat junjungan mulia Nabi Muhammad  SAW. keluarga serta para sahabat dan pengikut yang istiqamah menuruti baginda hingga ke hari kiamat.

Sahabat yang dirahmati Allah,
Sifat buruk sangka, bangga diri, ujub dan sombong adalah sifat-sifat mazmumah yang perlu kita jauhi. Tanpa kita sedari bahawa apabila sifat-sifat ini  telah bertapak dalam hati kita akan menyebabkan hati kita berpenyakit dan akan merosakkan amalan kita kepada Allah SWT.

Terdapat satu kisah seorang ulama sufi bernama Hassan al-Basri dengan seorang pemuda berdua-duaan dengan seorang wanita.

Suatu hari di tepi sungai Dajlah, Hassan al-Basri melihat seorang pemuda duduk berdua-duaan dengan seorang wanita. Di sisi mereka terletak sebotol arak. Lalu Hassan berbisik "Alangkah jahatnya orang itu dan alangkah baiknya kalau dia seperti aku!"

Tiba-tiba Hassan melihat sebuah perahu di tepi sungai yang sedang tenggelam. Lelaki yang duduk di tepi sungai tadi segera terjun untuk menolong penumpang perahu yang hampir lemas. Enam dari tujuh penumpang itu berjaya diselamatkan. 

Kemudian dia berpaling ke arah Hassan al-Basri dan berkata, "Jika engkau memang lebih mulia daripada saya, maka dengan nama Allah, selamatkan seorang lagi yang belum sempat saya tolong. Engkau diminta untuk menyelamatkan satu orang saja, sedang saya telah menyelamatkan enam orang."

Bagaimanapun Hassan al-Basri gagal menyelamatkan yang seorang itu. Maka lelaki itu bertanya padanya. "Tuan, sebenarnya wanita yang duduk di samping saya ini adalah ibu saya, sedangkan botol itu hanya berisi air biasa, bukan arak. Ini hanya untuk menguji tuan."

Hassan al-Basri terpegun lalu berkata, "Kalau begitu, sebagaimana engkau telah menyelamatkan enam orang tadi dari bahaya tenggelam ke dalam sungai, maka selamatkanlah saya dari tenggelam dalam kebanggaan dan kesombongan."

Orang itu menjawab, "Mudah-mudahan Allah mengabulkan permohonan tuan."

Semenjak itu, Hassan al-Basri selalu merendahkan diri bahkan ia menganggap dirinya sebagai makhluk yang tidak lebih dari orang lain.

Sahabat yang dimuliakan,
Sebagai pengajaran untuk di ambil sebagai iktibar kisah diatas, terdapat dua cara untuk mengatasinya.


Pertama : Jangan berburuk sangka dengan orang lain serta memandang rendah padanya. Apabila kita melihat orang lain membuat maksiat kepada Allah jangan menghinanya atau reda dengan perbuatannya dan cuba mencari aibnya. Berilah nasihat yang baik penuh hikmah. Anggaplah berkemugkinan orang itu jahil tentang perbuatannya. Sebagai muhasabah diri sendiri pula, kita patut malu pada diri sendiri yang dikurniakan oleh Allah SWT ilmu ini tetapi masih juga melakukan perbuatan yang dilarang oleh-Nya.

Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su' u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. .Yang parahnya, terkadang persangkaan kita tiada mempunyai asas dan tiada alasan yang benar. Memang semata-mata sifat kita suka curiga dan penuh sangka kepada orang lain, lalu kita membiarkan zhan tersebut bersemayam di dalam hati. Bahkan kita membicarakan serta menyampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada bukti yang kukuh merupakan perkara yang terlarang. 


Kedua : Perkara yang patut kita ingat adalah tentang diri kita iaitu perbuatan baik orang pada kita dan perbuatan jahat kita pada orang lain. Perkara yang patut kita lupakan adalah kebaikan kita pada orang dan kejahatan orang pada kita. Barulah hati kita akan menjadi bersih dan terhindar daripada sifat bangga diri dan menghargai kebaikan orang lain.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud :
"Sesungguhnya orang-orang yang percaya pada keterangan Kami, ialah orang yang apabila dibaca ayat-ayat itu kepada mereka, mereka sujud, tasbih memuji Tuhan dan mereka tidak menyombongkan diri. Mereka meninggalkan tempat tidurnya menyeru Tuhannya dengan perasaan penuh kecemasan dan pengharapan dan mereka membelanjakan (di jalan kebaikan) sebahagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka,"
(Surah as-Sajadah ayat 15-16)
syukran . . . 
luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com