Tanya murid kepada beliau:
"Maaf Guru, di dalam kita melaksanakan syari'at Islam ini, madzhab apa yang terbaik kita pakai?
Dengan tersenyum Abu Ibrahim Wayla menjawab:
"Madzhab apa saja boleh dari keempat madzhab itu. Terserah apa yang ananda yakini, tidak masalah, Tuhan Maha Tahu niat di hati kita!"
Saya tidak puas dengan jawaban guru saya itu, lalu saya bertanya lagi:
"Bolehkah saya tahu Tuan Guru sendiri bermadzhab siapa?"
"Madzhab Imam Syafi'i," jawabnya singkat.
Dari keempat imam itu, kenapa Tuan Guru ambil Imam Syafi'i?"
"Tidak usah kau tanyakan hal itu lagi, Nak baik.. Lebih baik kau amalkan saja apa yang sudah ananda yakini. Nanti ananda akan diberi hidayah, yang semua amalan kerjakan saja dengan ikhlas karena Allah!" jawab Abu Ibrahim Wayla.
Murid pun tak bertanya lagi, dan kamipun pergi terus menuju Buket Gadeng Bakongan Aceh Selatan, ziarah ke makam Teuku Raja Angkasah.
Berceritalah Abuya Ibrahim Wayla (kini almarhum) kepada murid tentang madzhab, serita seorang yang tersesat ditemui beliau di hutan Trumon.
Lantas beliau (Buya Ibrahim Wayla) menanyakan buat apa ke dalam hutan sendiri, terjauh dari keramaian, orang yang tersesat itu mengenak pakaian serba putih, katanya ia ingin mencari obat untuk anaknya yang sakit.
Kemudian Buya Ibrahim Wayla bertanya:
Kenapa tidak diajak teman datang kemari (ke hutan ini)?
Orang sebaruh baya itu menjawab: "Tidak ada yang mau diajak, biarlah saya sendiri saja, lagi pula kan ada Tuan teman saya di sini," sahut orang itu.
Kemudian orang itu bertanya, " Kemana arah kiblat Tuan? Saya mau shalat dhuhur, "
Abuya Ibrahim Wayla pun bingung, karena mereka berada dalam hutan lebat belantara. Namun secara sepontan Buya Ibrahim Wayla berkata: "Kemana saja kita hadapkan saat-saat seperti ini adalah itulah kiblat, ayo shalat kita, saya juga belum shalat dhuhur."
Buya Ibrahim Wayla pun membuka sarung yang melilit di lehernya dan dibentangkannya sebagai sajadah (tikar sembahyang), mula-mula Buya Ibrahim Wayla menolak jadi imam, tapi orang yang tersesat itu juga menolak menjadi imam. Akhirnya Buya Ibrahim Wayla yang maju ke depan sedikit untuk mengimami makmumnya yang 1 orang itu.
Abuya Ibrahim Wayla mengambil sebatang kayu kecil sebesar tongkat lalu diletakkannya di depan kain sarung.
Pendek cerita begitru mereka selesai shalat berjamaah, orang yang tersesat tadi jadi bingung , karena kayu yang diletakkan di depan sajadah tadi sudah berada di belakangnya, artinya arah kiblat mereka melakukan shalat sudah benar.
Saat mau berpisah, berkatalah orang tersesat ini kepada Buya Ibrahim Wayla:
"Kemana pula arah saya mau pulang Tuan?"
Buya Ibrahim Wayla menjawab:
"Kemana kamu yakin? Berjalan terus sambil minta tolong kepada Allah taala."
Lantas sehabis dia bercerita murid menyela:
"Nah apa hubungannya dengan madzhab Tuan Guru?"
"Begini sekarang yang duluan ananda ketahui apa? Nah itu dulu jalankan dengan ikhlas sampai bertemu yang lebih benar.
Karena Imam Safi'i sendiri pernah berkata, jika nanti ditemui fatwa orang lain yang lebih mendekatkan kebenaran maka tinggalkanlah fatwa saya itu, kata Imam Syaf'i'i."
Dan pada pertemuan muridnya pada waktu yang lain, bertanya pulalah tentang Tauhid kepada beliau (Abuya Ibrahim Wayla): "Ajarilah saya wahai Tuan Guru tentang Tauhid."
Beliau menjawab:
" Ada empat tingkatan tentang Tauhid. Ia terbagi menjadi biji, biji dari biji, kulit dari biji, dan kulit dari kulit seperti buah jauz.“
-Pertama, iman dengan perkataan semata-mata adalah kulit dari kulit, yaitu iman kaum munafiq, semoga Allah melindungi kita.
-Kedua, mempunyai makna kalimat, yaitu iman kaum muslimin pada umumnya.
-Ketiga, ,menyaksikan itu dengan cara kasyaf, yaitu kedudukan orang-orang yang dekat dengan Allah. Ia melihat banyak sebab, tetapi sebenarnya adalah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
-Keempat, hanya melihat satu, yaitu penyaksian orang-orang siddiq, dan para sufi menamakannya lenyap dalam tauhid. Maka ia tidak melihat dirinya karena batinnya hanyut dalam Al-Wahidul Haq (tuhan Yang Maha Esa dan Maha Benar). Itulah yang dimaksud oleh perkataan Abi Yazid, "Aku dibuat lupa terhadap diriku."
Maksudnya;
Pertama, ia adalah iman dengan lisan saja tidaklah bermanfaat, kecuali dalam menolak pedang dan mrelindungi harta dan darah.
Rasulullah SAW bersabda, " Apabila mereka mengucapkannya, maka mereka telah melindungi harta dan darah mereka dariku."
Kedua, menegaskan Tuhan dengan arti meyakini dengan hatinya makna kalimat itu tanpa meragukannya, tetapi tiada rasa lapang di dalam batinnya. Keadaan ini melindungi pelakunya dari siksaan di akhirat jika ia wafat dalam keadaan itu dan tidak melemahkannya dengan dengan sering berbuat maksiat.
Ketiga, menegaskan Tuhan dengan arti dadanya menjadi lapang. Maka ia pun hanya menyaksikan satu walaupun sebabnya banyak. Ia tahu bahwa sumbernya dari Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Benar.
Keempat, yakin haqqul yaqin dengan memasrahkan diri pada Allah dan hanya melihat Dia yang maha Esa hanyut dalam batin.
Di sini berkatalah orang yang tidak memancar di hatinya cahaya Allah yang dimaksud dengan firman Allah SWT :
"Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya sama dengan yang membantun hatinya."
(Surat Az-Zumar ayat: 22).
Beliau berkata:
"Bagaimana kita bisa melihat semuanya satu, padahal kita melihat berbagai sebab dari langit dan bumi serta melihat jumlah yang banyak.”
Berkata beliau lagi, mengungkapkan rahasia-rahasian ini tidak mungkin karena seorang arif berkata:
"Menyia-nyiakan rahasia ketuhanan adalah kufur".
Akan tetapi kita kemukakan sesuatu yang memenangkan kebenaran, yaitu bahwa benda dapat dikatakan banyak dengan suatu pertimbangan. Seperti manusia yang ditinjau dan bagian-bagiannya adalah banyak, tetapi karena ia merupakan satu orang, maka ia dianggap satu.
Inilah yang diisyaratkan oleh Al Husein bin Mansur ketika melihat Al-Khawas bepergian jauh. Maka ia berkata, "Kenapa engkau pergi jauh?"
Al-Khawas menjawab: "Aku pergi jauh untuk memperbaiki keadaank dalam bertawakal."
Al Husein berkata: "Engkau telah menghabiskan umurmu dalam memakmurkan batinmu, maka kapan engkau mengalami kefanaan dalam mengesakan Tuhanmu?
Al-Khawas berada dalam tingkatan ketiga, maka Al Husein memintanya untuk masuk tingkat keempat.
"Jika engkau katakan, "terangkan kepada kami keadaan ketiga jika engkau tidak menerangkan yang keempat."
Maka murid katakan, "Hal itu dapat dicapai bila engkau ketahui bahwa tiada Pencipta selain Allah SWT dan tidak bergerak satu debu pun di langit dan bumi kecuali dengan izin Allah SWT.
Tiada kemiskinan dan kekayaan, tiada kematian dan kehidupan, kecuali dengan izin Allah SWT dan Allah SWT pencipta semua makhluk.
Maka siapa yang menyaksikan ini dan mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Dia, ia pun tidak membutuhkan selain Allah dan tidak mengandalkan sesuatu, karena semuanya tunduk di bawah kekuasaan-Nya!
Apabila raja memberi maaf, maka tidaklah dilihat kepada pena dan kertas tidak mensyukuri keduanya, tetapi melihat kepada penulisnya yaitu raja, lalu mensyukurinya.
Maka siapa melihat kepada kekasih selain Allah SWT, ia pun seperti melihat kepada pena, kertas, tinta, dan mensyukurinya.
Orang yang mengesakan Tuhan tersebut ialah orang yang kagum kepada keindahan raja sehingga tidak menyaksikan pena atau memikirkan adanya pena dan tinta, bahkan tidak melihat dan tidak menyebutnya.
Beliau panjang lebar memberikan penjelasan kepada murid yang dicatat dan disusunnya kembali dengan redaksi yang rapih.
Kemudian ada kesimpulan yang diberikan beliau kepada muridnya yaitu:
"Nak, Maka janganlah mengandalkan makan, minum, nikah, tempat tinggal, serta segala kebutuhanmu, melainkan sekedar yang engkau perlukan saja tidak lebih untuk menegakkan badan serta menghidupi dirimu. Inilah zuhud yang hakiki (mutlak).
Demikian tulisan ini diangkat langsung dari kisah nyata seorang murid yang mulia Abu Ibrahim Woyla,
"Maaf Guru, di dalam kita melaksanakan syari'at Islam ini, madzhab apa yang terbaik kita pakai?
Dengan tersenyum Abu Ibrahim Wayla menjawab:
"Madzhab apa saja boleh dari keempat madzhab itu. Terserah apa yang ananda yakini, tidak masalah, Tuhan Maha Tahu niat di hati kita!"
Saya tidak puas dengan jawaban guru saya itu, lalu saya bertanya lagi:
"Bolehkah saya tahu Tuan Guru sendiri bermadzhab siapa?"
"Madzhab Imam Syafi'i," jawabnya singkat.
Dari keempat imam itu, kenapa Tuan Guru ambil Imam Syafi'i?"
"Tidak usah kau tanyakan hal itu lagi, Nak baik.. Lebih baik kau amalkan saja apa yang sudah ananda yakini. Nanti ananda akan diberi hidayah, yang semua amalan kerjakan saja dengan ikhlas karena Allah!" jawab Abu Ibrahim Wayla.
Murid pun tak bertanya lagi, dan kamipun pergi terus menuju Buket Gadeng Bakongan Aceh Selatan, ziarah ke makam Teuku Raja Angkasah.
Berceritalah Abuya Ibrahim Wayla (kini almarhum) kepada murid tentang madzhab, serita seorang yang tersesat ditemui beliau di hutan Trumon.
Lantas beliau (Buya Ibrahim Wayla) menanyakan buat apa ke dalam hutan sendiri, terjauh dari keramaian, orang yang tersesat itu mengenak pakaian serba putih, katanya ia ingin mencari obat untuk anaknya yang sakit.
Kemudian Buya Ibrahim Wayla bertanya:
Kenapa tidak diajak teman datang kemari (ke hutan ini)?
Orang sebaruh baya itu menjawab: "Tidak ada yang mau diajak, biarlah saya sendiri saja, lagi pula kan ada Tuan teman saya di sini," sahut orang itu.
Kemudian orang itu bertanya, " Kemana arah kiblat Tuan? Saya mau shalat dhuhur, "
Abuya Ibrahim Wayla pun bingung, karena mereka berada dalam hutan lebat belantara. Namun secara sepontan Buya Ibrahim Wayla berkata: "Kemana saja kita hadapkan saat-saat seperti ini adalah itulah kiblat, ayo shalat kita, saya juga belum shalat dhuhur."
Buya Ibrahim Wayla pun membuka sarung yang melilit di lehernya dan dibentangkannya sebagai sajadah (tikar sembahyang), mula-mula Buya Ibrahim Wayla menolak jadi imam, tapi orang yang tersesat itu juga menolak menjadi imam. Akhirnya Buya Ibrahim Wayla yang maju ke depan sedikit untuk mengimami makmumnya yang 1 orang itu.
Abuya Ibrahim Wayla mengambil sebatang kayu kecil sebesar tongkat lalu diletakkannya di depan kain sarung.
Pendek cerita begitru mereka selesai shalat berjamaah, orang yang tersesat tadi jadi bingung , karena kayu yang diletakkan di depan sajadah tadi sudah berada di belakangnya, artinya arah kiblat mereka melakukan shalat sudah benar.
Saat mau berpisah, berkatalah orang tersesat ini kepada Buya Ibrahim Wayla:
"Kemana pula arah saya mau pulang Tuan?"
Buya Ibrahim Wayla menjawab:
"Kemana kamu yakin? Berjalan terus sambil minta tolong kepada Allah taala."
Lantas sehabis dia bercerita murid menyela:
"Nah apa hubungannya dengan madzhab Tuan Guru?"
"Begini sekarang yang duluan ananda ketahui apa? Nah itu dulu jalankan dengan ikhlas sampai bertemu yang lebih benar.
Karena Imam Safi'i sendiri pernah berkata, jika nanti ditemui fatwa orang lain yang lebih mendekatkan kebenaran maka tinggalkanlah fatwa saya itu, kata Imam Syaf'i'i."
Dan pada pertemuan muridnya pada waktu yang lain, bertanya pulalah tentang Tauhid kepada beliau (Abuya Ibrahim Wayla): "Ajarilah saya wahai Tuan Guru tentang Tauhid."
Beliau menjawab:
" Ada empat tingkatan tentang Tauhid. Ia terbagi menjadi biji, biji dari biji, kulit dari biji, dan kulit dari kulit seperti buah jauz.“
-Pertama, iman dengan perkataan semata-mata adalah kulit dari kulit, yaitu iman kaum munafiq, semoga Allah melindungi kita.
-Kedua, mempunyai makna kalimat, yaitu iman kaum muslimin pada umumnya.
-Ketiga, ,menyaksikan itu dengan cara kasyaf, yaitu kedudukan orang-orang yang dekat dengan Allah. Ia melihat banyak sebab, tetapi sebenarnya adalah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
-Keempat, hanya melihat satu, yaitu penyaksian orang-orang siddiq, dan para sufi menamakannya lenyap dalam tauhid. Maka ia tidak melihat dirinya karena batinnya hanyut dalam Al-Wahidul Haq (tuhan Yang Maha Esa dan Maha Benar). Itulah yang dimaksud oleh perkataan Abi Yazid, "Aku dibuat lupa terhadap diriku."
Maksudnya;
Pertama, ia adalah iman dengan lisan saja tidaklah bermanfaat, kecuali dalam menolak pedang dan mrelindungi harta dan darah.
Rasulullah SAW bersabda, " Apabila mereka mengucapkannya, maka mereka telah melindungi harta dan darah mereka dariku."
Kedua, menegaskan Tuhan dengan arti meyakini dengan hatinya makna kalimat itu tanpa meragukannya, tetapi tiada rasa lapang di dalam batinnya. Keadaan ini melindungi pelakunya dari siksaan di akhirat jika ia wafat dalam keadaan itu dan tidak melemahkannya dengan dengan sering berbuat maksiat.
Ketiga, menegaskan Tuhan dengan arti dadanya menjadi lapang. Maka ia pun hanya menyaksikan satu walaupun sebabnya banyak. Ia tahu bahwa sumbernya dari Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Benar.
Keempat, yakin haqqul yaqin dengan memasrahkan diri pada Allah dan hanya melihat Dia yang maha Esa hanyut dalam batin.
Di sini berkatalah orang yang tidak memancar di hatinya cahaya Allah yang dimaksud dengan firman Allah SWT :
"Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk menerima agama Islam, lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya sama dengan yang membantun hatinya."
(Surat Az-Zumar ayat: 22).
Beliau berkata:
"Bagaimana kita bisa melihat semuanya satu, padahal kita melihat berbagai sebab dari langit dan bumi serta melihat jumlah yang banyak.”
Berkata beliau lagi, mengungkapkan rahasia-rahasian ini tidak mungkin karena seorang arif berkata:
"Menyia-nyiakan rahasia ketuhanan adalah kufur".
Akan tetapi kita kemukakan sesuatu yang memenangkan kebenaran, yaitu bahwa benda dapat dikatakan banyak dengan suatu pertimbangan. Seperti manusia yang ditinjau dan bagian-bagiannya adalah banyak, tetapi karena ia merupakan satu orang, maka ia dianggap satu.
Inilah yang diisyaratkan oleh Al Husein bin Mansur ketika melihat Al-Khawas bepergian jauh. Maka ia berkata, "Kenapa engkau pergi jauh?"
Al-Khawas menjawab: "Aku pergi jauh untuk memperbaiki keadaank dalam bertawakal."
Al Husein berkata: "Engkau telah menghabiskan umurmu dalam memakmurkan batinmu, maka kapan engkau mengalami kefanaan dalam mengesakan Tuhanmu?
Al-Khawas berada dalam tingkatan ketiga, maka Al Husein memintanya untuk masuk tingkat keempat.
"Jika engkau katakan, "terangkan kepada kami keadaan ketiga jika engkau tidak menerangkan yang keempat."
Maka murid katakan, "Hal itu dapat dicapai bila engkau ketahui bahwa tiada Pencipta selain Allah SWT dan tidak bergerak satu debu pun di langit dan bumi kecuali dengan izin Allah SWT.
Tiada kemiskinan dan kekayaan, tiada kematian dan kehidupan, kecuali dengan izin Allah SWT dan Allah SWT pencipta semua makhluk.
Maka siapa yang menyaksikan ini dan mengetahui bahwa tiada Tuhan selain Dia, ia pun tidak membutuhkan selain Allah dan tidak mengandalkan sesuatu, karena semuanya tunduk di bawah kekuasaan-Nya!
Apabila raja memberi maaf, maka tidaklah dilihat kepada pena dan kertas tidak mensyukuri keduanya, tetapi melihat kepada penulisnya yaitu raja, lalu mensyukurinya.
Maka siapa melihat kepada kekasih selain Allah SWT, ia pun seperti melihat kepada pena, kertas, tinta, dan mensyukurinya.
Orang yang mengesakan Tuhan tersebut ialah orang yang kagum kepada keindahan raja sehingga tidak menyaksikan pena atau memikirkan adanya pena dan tinta, bahkan tidak melihat dan tidak menyebutnya.
Beliau panjang lebar memberikan penjelasan kepada murid yang dicatat dan disusunnya kembali dengan redaksi yang rapih.
Kemudian ada kesimpulan yang diberikan beliau kepada muridnya yaitu:
"Nak, Maka janganlah mengandalkan makan, minum, nikah, tempat tinggal, serta segala kebutuhanmu, melainkan sekedar yang engkau perlukan saja tidak lebih untuk menegakkan badan serta menghidupi dirimu. Inilah zuhud yang hakiki (mutlak).
Demikian tulisan ini diangkat langsung dari kisah nyata seorang murid yang mulia Abu Ibrahim Woyla,
Syukran...
0 komentar:
Posting Komentar