Usai singgah di makam Tgk Di Anjong, Peulanggahan, Kecamatan
Kutaraja, Banda Aceh, lanjut Mukhlis, Abu melanjutkan perjalanan ke arah
Gampong Jawa. Saat dalam perjalanan, ada seorang wanita paruh baya yang
mengenal Abu. Spontan wanita tersebut memanggil Abu dan meminta Abu untuk
singgah di rumahnya.
Rombongan Abu Woyla kemudian
memenuhi permitaan dan singgah di rumah wanita tersebut. Wanita pemilik rumah
itu, kata Mukhlis, menginginkan anaknya untuk minum air yang dicelupkan dengan
musabah Abu Ibrahim.
“Troh u rumoh ureung inong nyan,
kamoe geupeugot kupi, tapi that suum ie jih sampe kamoe hana meuteme jep, tapi
Abu geujep kupi nyan suum-suum. Lheun nyan Abu geucelup boh musabah lam ie
nyang geubri keu aneuk ureung inong nyan (sampai di rumah wanita
tersebut, kami disajikan kopi, tetapi airnya sangat panas hingga kami tidak sempat
minum, tapi Abu langsung meminumnya walau masih airnya masih panas. Setelah itu
Abu menyelupkan musabahnya ke dalam air yang akan diberi untuk anak wanita
tersebut),” kata Mukhlis.
Tak beberapa lama di rumah wanita
itu, Abu dan Mukhlis kemudian melanjutkan perjalanan dari Gampong
Jawa dan kembali ke arah Peunayong, seterusnya sampai di depan RSUZA, Jalan T
Nyak Arief. Di tempat itu Abu Ibrahim kemudian meminta kepada Mukhlis untuk
mengarahkan kenderaan mereka ke Masjid Raya Baiturrahman.
Dalam sekejap saja, mobil yang
dikendarai Mukhlis sudah berada di depan Mesjid Raya Baiturrahman. Di sana
mobil dihentikan sesuai permintaan Abu. Dari dalam mobil, dengan kaca terbuka
Abu menatap ke arah mesjid sembari melambaikan tangannya dengan gerakan arah
telapak tangannya ke bawah. “Berkali-kali Abu melakukan itu,” ujar Mukhlis.
“Bak akhe Abu
geugrak jaroe lhee goe arah u mesjid raya, lage tanda geukoh sipeu-peu (di akhir Abu menggerakkan
tangannya tiga kali menghadap mesjid raya, seperti tanda memotong sesuatu),” tiru
Mukhlis dengan gerakan tangannya dari arah kiri ke kanan.
Usai perjalanan singkat tersebut,
Abu langsung kembali ke tempat ia menginap dan mengatakan kepada Mukhlis, jika
Abu malam nanti akan berangkat ke Padang, Sumatra Barat. Sebelum berangkat, Mukhlis
memohon izin kepada Abu bahwa ia tidak bisa menemani Abu ke Padang karena ia
baru berkeluarga.
“Menyoe meunan Do’a bak lon (kalau
begitu doa dari saya),” ujar Mukhlis mengulang perkataan Abu kepadanya kala
itu.
Dua hari setelahnya, Tsunami
meluluhlantakkan Aceh begitu dahsyatnya. Namun kata Mukhlis, gelombang Tsunami
yang datang pada 26 Desember 2004 lalu itu, sepertinya berhenti di seputaran
kawasan Abu Ibrahim Woyla jalan-jalan di Banda Aceh sebelum Tsunami itu
terjadi.
Setelah itu, Mukhlis pun tidak
lagi mengetahui kegiatan Abu hingga gempa bumi dan Tsunami melanda Aceh. Baru
pada hari keempat setelah kejadian yang menewaskan ratusan ribu umat manusia
itu, Mukhlis bertemu kembali dengan Abu di salah satu rumah di kawasan Geuceu
Komplek, Banda Aceh.
Lanjut Mukhlis, setelah bertemu
di sana, pada sore hari Abu mengajak Mukhlis jalan-jalan ke Lhoknga. Kembali
Mukhlis meminjam sebuah mobil milik kerabatnya yang juga mengenal Abu Ibrahim
Woyla. Setibanya di kawasan Peukan Bada, Mukhlis melihat tumpukan sampah
Tsunami yang belum dibersihkan dan masih ada mayat-mayat bergeletakan di
sekitar mereka.
Melihat kondisi medan yang tidak
mungkin dilewati, Mukhlis mengadu kepada Abu jika tidak mungkin mobil melewati
jalan, karena masih banyak puing Tsunami dan benda tajam lain yang menghambat
laju kenderaan mereka.
“Hana peu-peu, tajak laju (tidak
masalah, jalan saja),” begitu kata Abu ujar Mukhlis saat ia mengadu.
Mendengar kata Abu, Mukhlis pun
terus mengendarai kendaraannya melewati puing Tsunami yang logikanya tidak
mungkin dilewati oleh kendaraan. Mereka terus berjalan hingga ke jembatan yang
terputus di kawasan Lhoknga, Aceh Besar.
Setiba di sana, kata Mukhlis,
mereka berjumpa dengan seorang wanita yang mengenal sosok Abu Ibrahim Woyla.
Wanita itu menceritakan, dalam musibah itu suaminya menjadi korban dan sampai
hari keempat setelah Tsunami ia belum bertemu dan mengetahui nasib suaminya
itu.
Lantas sambung Muklis, wanita itu
meminta dirinya untuk menanyakan kepada Abu Ibrahim, bagaimana perihal suaminya
nasib suaminya yang diseret arus Tsunami. Melalui Mukhlis, Abu menjawab singkat
pertanyaan wanita tersebut.
“Suaminya sedang jalan- jalan
jauh,” kata Abu Ibrahim kepada wanita itu melalui Mukhlis.
Di tempat itu, Abu Ibrahim
bersama Mukhlis berada hingga langit mulai merah dan matahari akan tenggelam.
Kini, sepeninggal Abu Ibrahim
Woyla yang berpulang ke Rahmatullah, beberapa tahun lalu tepatnya pada hari
Sabtu pukul 16.00 WIB tanggal 18 Juli 2009 di rumah anaknya di Pasi Aceh,
Kecamatan Woyla Induk, Kabupaten Aceh Barat, dalam usia 90 tahun, Mukhlis
dengan beberapa rekannya hanya mengurusi dan membangun dayah Bustanul Huda
Gampong Dayah Baro di Kabupaten Aceh Jaya.
Penuturan lelaki ramah dan
berilmu agama ini, Dayah tempat dirinya dan santri lain memperdalam ilmu Islam
sekarang ini, dibagun pada tahun 2006 silam dan amanah Abu Ibrahim Woyla semasa
hidupnya.
“Amanah Abu, bek meulake bak gop
keu peudong dayah, peulaku ubee sangguop (Amanah Abu, jangan
meminta- minta untuk mendirikan dayah, kerjakan sesuai kesanggupan),” tegas
Mukhlis menirukan ucapan Abu.
Di atas balai
kontruksi papan, dalam suasana sejuk suatu malam beberapa waktu lalu, di
perbukitan yang hanya diterangi lampu neon dari genset. Mengingat
waktu sudah lewat tengah malam dan rasa kantuk menghinggapi indra lihat, atas
permintaan dua tamunya, malam itu Mukhlis pun mengakhiri pengalaman
spiritualnya bersama Waliyullah Almarhum Abu Ibrahim Woyla.
Dikutip dari www.santridayah.com, Abu
Ibrahim Woyla yang bernama lengkap Teungku (Ustadz/Kiyai) Ibrahim bin Teungku
Sulaiman bin Teungku Husen dilahirkan di kampung Pasi Aceh, Kecamatan Woyla,
Kabupaten Aceh Barat pada tahun 1919 M.
Menurut riwayat, pendidikan
formal Abu Ibrahim Woyla hanya sempat menamatkan Sekolah Rakyat (SR),
selebihnya menempuh pendidikan Dayah (Pesantren Salafi/Tradisional) selama
hampir 25 tahun.
Sehingga dalam sejarah masa
hidupnya Abu Ibrahim Woyla pernah belajar 12 tahun pada Syeikh Mahmud seorang
ulama asal Lhoknga Aceh Besar yang kemudian mendirikan Dayah Bustanul Huda di
Kecamatan Blang Pidie, Aceh Barat Daya.
Di antara murid Syeikh Mahmud
ini, selain Abu Ibrahim Woyla juga ada Abuya Syeikh Muda Waly Al-Khalidy yang
kemudian Abu Ibrahim Wayla berguru padanya. Abuya Muda Waly adalah seorang
ulama tareqat naqsyabandiyah tersohor di Aceh.
Abu Ibrahim Woyla oleh banyak
orang dikenal sebagai ulama agak pendiam dan ini sudah menjadi bawaannya
sewaktu kecil hingga masa tua. Beliau hanya berkomunikasi bila ada hal yang
perlu untuk disampaikan sehingga banyak orang yang tidak berani bertanya
terhadap hal-hal yang terkesan aneh bila dikerjakan Abu Ibrahim Woyla.
Sikap Abu Ibrahim Woyla seperti itu sangat dirasakan oleh keluarganya,
namun karena mereka sudah tau sifat dan pembawaannya demikian. Keluarga hanya
bisa pasrah terhadap pilihan jalan hidup yang ditempuh Abu Ibrahim Woyla yang
terkadang sikap dan tindakannya tidak masuk akal. Tapi begitulah orang mengenal
sosok Abu Ibrahim Woyla.syukran...
Terimaksh ats isian blognya ,saya suka
BalasHapussemangat, lanjutkan perjuangan dan harapan beliau
BalasHapussaya IBU WINDA posisi sekarang di malaysia
Hapusbekerja sebagai ibu rumah tangga gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan
Sangat bermanfaat baca juga di
BalasHapusSeur4moe