“Untuk Kader Dakwah”
Goresan Pena
- Do’a pada saat Deklarasi Partai Keadilan
- Cahaya Di Wajah Ummat
- Kedunguan Kasta vs Komitmen Perjuangan
- Cermin Diri
- Kutbah 'Iedul Adha 1421 H
- Militansi
- Buah Mengimani Hari Akhir
- Kerendahan Hati dan Kepekaan Sosial
- Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah
- Bulan Ramadlan : Stasiun Besar Musafir Iman
- Shalawat Atas Nabi SAW
Berita,
Profil, & Wawancara :
- KH Rahmat Abdullah: Kebangkitan Islam Hanya Soal Waktu
- KH Rahmat Abdullah, "Tempat Curhat Santri Kilat"
- Syaikhut Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah: "Ikhwanul Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah"
- KH. Rahmat Abdullah (Ketua Majelis Syuro PK): "Saya Ingin Lebih Banyak Menggali Ilmu dan Menyebarkan Dakwah Ini"
KH Rahmat
Abdullah (In Memoriam)
DO'A
Dilantunkan
oleh K.H. Rahmat Abdullah pada Deklarasi Partai Keadilan
Lapangan
Masjid Agung Al-Azhar Jakarta, 09 Agustus 1998, yang diiringi oleh tetesan air
mata hadirin.
Ya ALLAH, berikan
taqwa kepada jiwa-jiwa kami dan sucikan dia.
Engkaulah sebaik-baik
yang, mensucikannya.
Engkau pencipta
dan pelindungnya
Ya ALLAH,
perbaiki hubungan antar kami
Rukunkan antar
hati kami
Tunjuki kami
jalan keselamatan
Selamatkan kami
dari kegelapan kepada terang
Jadikan kumpulan
kami jama'ah orang muda yang menghormati orang tua
Dan jama'ah orang
tua yang menyayangi orang muda
Jangan Engkau tanamkan
di hati kami kesombongan dan kekasaran terhadap sesama hamba beriman
Bersihkan hati
kami dari benih-benih perpecahan, pengkhianatan dan kedengkian
Ya ALLAH, wahai
yang memudahkan segala yang sukar
Wahai yang
menyambung segala yang patah
Wahai yang
menemani semua yang tersendiri
Wahai pengaman
segala yang takut
Wahai penguat
segala yang lemah
Mudah bagimu
memudahkan segala yang susah
Wahai yang tiada
memerlukan penjelasan dan penafsiran
Hajat kami
kepada-Mu amatlah banyak
Engkau Maha Tahu
dan melihatnya
Ya ALLAH, kami
takut kepada-Mu
Selamatkan kami
dari semua yang tak takut kepada-Mu
Jaga kami dengan
Mata-Mu yang tiada tidur
Lindungi kami
dengan perlindungan-Mu yang tak tertembus
Kasihi kami
dengan kudrat kuasa-Mu atas kami
Jangan binasakan
kami, karena Engkaulah harapan kami
Musuh-musuh kami
dan semua yang ingin mencelakai kami
Tak akan sampai
kepada kami, langsung atau dengan perantara
Tiada kemampuan
pada mereka untuk menyampaikan bencana kepada kami
"ALLAH
sebaik baik pemelihara dan Ia paling kasih dari segala kasih"
Ya ALLAH, kami
hamba-hamba-Mu, anak-anak hamba-Mu
Ubun-ubun kami
dalam genggaman Tangan-Mu
Berlaku pasti
atas kami hukum-Mu
Adil pasti atas
kami keputusan-Mu
Ya ALLAH, kami
memohon kepada-Mu
Dengan semua nama
yang jadi milik-Mu
Yang dengan nama
itu Engkau namai diri-Mu
Atau Engkau
turunkan dalam kitab-Mu
Atau Engkau
ajarkan kepada seorang hamba-Mu
Atau Engkau
simpan dalam rahasia Maha Tahu-Mu akan segala ghaib
Kami memohon-Mu
agar Engkau menjadikan Al Qur'an yang agung
Sebagai musim
bunga hati kami
Cahaya hati kami
Pelipur sedih dan
duka kami
Pencerah mata
kami
Ya ALLAH, yang
menyelamatkan Nuh dari taufan yang menenggelamkan dunia
Ya ALLAH, yang
menyelamatkan Ibrahim dari api kobaran yang marak menyala
Ya ALLAH, yang
menyelamatkan Musa dari kejahatan Fir'aun dan laut yang mengancam nyawa
Ya ALLAH, yang
menyelamatkan Isa dari Salib dan pembunuhan oleh kafir durjana
Ya ALLAH, yang
menyelamatkan Muhammad alaihimusshalatu wassalam dari kafir Quraisy durjana,
Yahudi pendusta, munafik khianat, pasukan sekutu Ahzab angkara murka
Ya ALLAH, yang
menyelamatkan Yunus dari gelap lautan, malam, dan perut ikan
Ya ALLAH, yang
mendengar rintihan hamba lemah teraniaya
Yang menyambut si
pendosa apabila kembali dengan taubatnya
Yang mengijabah
hamba dalam bahaya dan melenyapkan prahara
Ya ALLAH, begitu
pekat gelap keangkuhan, kerakusan dan dosa
Begitu dahsyat
badai kedzaliman dan kebencian menenggelamkan dunia
Pengap kehidupan
ini oleh kesombongan si durhaka yang membuat-Mu murka
Sementara kami
lemah dan hina, berdosa dan tak berdaya
Ya ALLAH, jangan
kiranya Engkau cegahkan kami dari kebaikan yang ada pada-Mu karena kejahatan
pada diri kami
Ya ALLAH,
ampunan-Mu lebih luas dari dosa-dosa kami
Dan rahmah kasih
sayang-Mu lebih kami harapkan daripada amal usaha kami sendiri
Ya ALLAH, jadikan
kami kebanggaan hamba dan nabi-Mu Muhammad SAW di padang mahsyar nanti
Saat para rakyat
kecewa dengan para pemimpin penipu yang memimpin dengan kejahilan dan hawa
nafsu
Saat para
pemimpin cuci tangan dan berlari dari tanggung jawab
Berikan kami
pemimpin berhati lembut bagai Nabi yang menangis dalam sujud malamnya tak henti
menyebut kami, ummati ummati, ummatku ummatku
Pemimpin bagai
para khalifah yang rela mengorbankan semua kekayaan demi perjuangan
Yang rela
berlapar-lapar agar rakyatnya sejahtera
Yang lebih takut
bahaya maksiat daripada lenyapnya pangkat dan kekayaan
Ya ALLAH, dengan
kasih sayang-Mu Engkau kirimkan kepada kami da'i penyeru iman
Kepada nenek
moyang kami penyembah berhala
Dari jauh mereka
datang karena cinta mereka kepada da'wah
Berikan kami
kesempatan dan kekuatan, keikhlasan dan kesabaran
Untuk menyambung
risalah suci dan mulia ini
Kepada generasi
berikut kami
Jangan jadikan
kami pengkhianat yang memutuskan mata rantai kesinambungan ini
Dengan sikap
malas dan enggan berda'wah
Karena takut rugi
dunia dan dibenci bangsa
[riska-forum-list]
Cahaya Di
Wajah Ummat
KH. RAHMAT
ABDULLAH Ketua MPP Partai Keadilan
Dalam satu
kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia
betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan,
kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya
menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja
dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan
di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.
Karenanya jangan
ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha
meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a
bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan
dipercepat oleh nasabnya ).
Makna tarbiah itu
sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus
menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan
sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya.
Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di
Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram
yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian
ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di
Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri
mereka.
Sesungguhnya
mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal
takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro
ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan
untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan
tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat
perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam
kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi
cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.
Jangan ada lagi
kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak
berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi
lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun
dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya,
kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah
kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah,
kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia
berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini,
tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta
orang.
Sangat indah
ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi
ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir
di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.
Jangan ada
sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan
eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba
Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya
kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat
orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing,
karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya,
ummat dan alam semesta senanti-asa.
Kehebatan Namrud
bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya
dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan
Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam
menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya,
justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat).
Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan
bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu
sabit akdamakum (Jika kamu meno-long Allah, Ia pasti akan menolongmu dan
mengokohkan langkah kamu)
Semoga para kader
senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah
derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan
pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan
diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah
melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk
terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan.
Disanalah kita
mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur
kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi
yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi
masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam
rahmatan lil alamin. []
[pks.or.id]
Kedunguan
Kasta vs Komitmen Perjuangan
KH Rahmat
Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)
Pada suatu hari
lewatlah seseorang di depan Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada seseorang
disampingnya: "Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?" Orang itu
menjawab: "Ia lelaki golongan terhormat. Demi ALLAH, seandainya meminang
pastilah diterima dan bila memberi pembelaan pasti dikabulkan". Lalu
Rasulullah SAW berdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya
kepada orang yang disampingnya tadi: "Bagaimana pandanganmu tentang orang
ini?" Ia menjawab: "Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas
ditolak, bila memberi pembelaan takkan didengar pembelaannya dan bila berbicara
takkan didengar ucapannya". Rasulullah SAW bersabda : "Sepenuh bumi
ia lebih baik daripada orang tadi (yang pertama)" (HSR Muslim).
Ketika Da’wah ini
muncul dan eksis dalam waktu yang sangat singkat, ia telah menyata-kan
jatidirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau
berjuang, tidak peduli anak siapa dan berapa kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli
penolakan Bani Israil paska nabi Musa AS ketika nabi mereka menyatakan bahwa
Thalut yang miskin telah dipilih ALLAH untuk menjadi pemimpin mereka
(Qs.2:247). Ia tidak juga meman-jakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi
Nuh AS yang mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal
fikiran’ (aradziluna. badia’r ra’yi, tidak kritis, Qs. 11:27). Bahkan ia pun
tak sungkan-sungkan menegur keras nabinya karena ‘logika prioritas’ yang
dibangunnya menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum ‘nyaris tertinggal’. Alqur-an
menyebutkan "Ia telah bermasam muka dan berpaling, ketika datang kepadanya
hamba yang buta……" (Qs. 80:1-2).
Siapa yang tak
kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di ka-langan
para sahabat? Namun, carilah dimana nama mereka terpampang dan bukan hanya
sifat, selain Zaid, RA (Qs.33:37) ? ‘Kelas’ inilah yang diakui sebagai kekuatan
yang dengan mereka "kalian diberi rezki dan dimenangkan". (HSR
Bukhari)
Pungguk Mengaku
Duduki Bulan Demi kepentingan mereka, bahkan Dzulqarnain mengoreksi salah
kaprah yang merugikan mereka sendiri. "… mereka berkata: "Wahai
Dzulqarnain, maukah Engkau kami beri upeti, agar mau membangunkan tembok
(benteng) yang dapat melindungi kami dari (serangan) mereka?" Ia menjawab;
"Kedudukan yang ALLAH telah berikan kepadaku itu lebih baik. Cukuplah
kalian membantuku dengan kekuatan, aku bangunkan benteng yang kuat, memisahkan
antara kamu dan mereka" (Qs.18:94-95).
Tanpa pembinaan
dan penataan yang benar kelas ini akan menjadi kekuatan destruktif yang
dikendalikan tangan-tangan berdarah. Dendam kemiskinan kerap membuat orang
melahap fatamorgana. Mereka melahap tuduhan bahwa masyarakat tak peduli kepada
derita mereka, lalu menyambut lambaian para penipu yang akan menunggangi
mereka. Kalau para kader hanya mencemooh dari jauh kelicikan para tengkulak
yang memperdagangkan kemiskinan dan melahap begitu banyak hak masyarakat
miskin, tetaplah roda kemenangan berpihak kepada angkara murka.
Banyak orang kaya
baru (OKB) berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka dan po-litisi dari
partai-partai baru yang mencaci-maki partai tiran dan korup sebelumnya. Tetapi
ajaib, mereka menjadi begitu norak, kemaruk dan lebih ‘ndeso’ dari para
pendahulu.. Orang kaya merambat tak perlu waktu adaptasi. Orang kaya mendadak
benar-benar perlu belajar membawa diri. Tetapi orang kaya turunan dan orang
kaya mendadak sama-sama perlu memahami dan mengingat kembali kemiskinan, betapa
pun pahit.
Kader yang
menyikapi jabatan yang diterimanya lebih sebagai amanah dari pada kehormatan,
akan dengan cepat belajar menyesuaikan diri dan memahahami karakteristik tugas
dan tantangannya. Bawahan yang lebih pandai, diakuinya dan didorongnya untuk
cepat menggapai posisi yang lebih sesuai. Mereka berendah hati, karena memang
tak takut jatuh dengan merendah. Sebaliknya mereka yang bagaikan senior
perpeloncoan yang kerap bermasalah dalam IP mereka, sering menampakkan gejala
ketakutan ‘disaingi’.
Perasaan berkasta
tinggi. Melecehkan orang yang mereka anggap berkasta lebih rendah. Menelikung
siapa saja yang di luar koneksi. Mengkoptasi semua demi keharuman citra diri.
Memecahkan masalah dengan menyalahkan orang lain. Melapor segalanya beres tanpa
ada yang dibereskan.
Hal paling berat
bagi kader yang berorientasi kekuasaan atau dunia ialah usaha untuk
mendengarkan dan memahami. Mereka lebih suka didengar, difahami dan dimaklumi.
Tak ada kemajuan dalam prestasi kecuali seni membuat-buat alasan. Karena otak
tak bekerja kerap, mereka lebih suka menggunakan lutut. Muncullah kader-kader
‘gagah’ dengan mengimitasi tampilan serdadu, bukan meningkatkan etos, disiplin
dan kehormatan jundi sejati. "Army Look" adalah kebanggaan mereka
yang ingin diterima tanpa harus mengajukan dalil, yang penting orang takut dan nurut.
Kader Sejati
Pepatah lama menyadarkan kita betapa pentingnya mendengar. "Ta’allam
husna’l Istima’ kama tata’allam husna’l Hadits" (Belajarlah cakap
mendengar sebagaimana engkau be-lajar untuk pandai bercakap).
Para ‘penjaja’
Fasad telah begitu lihai menggeser cita-rasa masyarakat. Mereka membentuk
identitas ABG dengan segala asesori termasuk bahasa. Mereka bentuk mental
attitude-nya sendiri dan bahasa gaulnya sendiri. Seluruh sasaran bahasa adalah
penjungkirbalikan kemapanan. Dan agama adalah bagian yang dianggap kemapanan.
Bahasa fasad
lebih fasih dari pada bahasa Islah. Ada bahasa gaul untuk remaja, ada bahasa
gaul untuk tua-bangka dan ada bahasa gaul untuk preman, morfinis dan kriminal
lainnya.
"’Ala Man
Taqra’ Zabura ?!" (Kepada siapa Anda Bacakan Zabur?), adalah sindiran
tajam bagi da’i yang asyik menyusun kata dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli
apakah komunikannya dapat mengerti. Dalam pertarungan memperebutkan pendukung,
ada kekuatan berhasil meyakinkan calon pendukungnya dengan idiom-idiom tipuan yang
memukau rakyat. Ada yang dengan jujur meneriakkan visi dan misi mereka, tetapi
tidak cukup sampai ke telinga batin mereka.
Banyak kondisi
menipu (Zhuruf Muzayyafah), yang kerap membuahkan kekecewaan. Sesudah iman,
ikhlas dan pengenalan konsep serta medan, kemampuan transformasi fikrah dan
menangkap gejolak arus bawah mutlak perlu dipertajam. Pesan-pesan penyampaian
dengan berbagai pendekatan, patut dibiasakan; 1. Khathibu’n Nas ala Qadri
uqulihim (Serulah masyarakat sesuai dengan kadar akal mereka), 2. Khathibu’n
Nas bilughati qaumihim (Serulah masyarakat dengan bahasa kaum mereka), 3.
Anzilu’n Nas manazilahum (Dudukkan masyarakat menurut kedudukan mereka).
Karena da’wah
bukanlah obral candu, perlu diuji ulang, cukup tajamkah telinga ini men-dengar
krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata memandang seorang
akh yang membisu dalam kelaparannya yang sangat dan isterinya yang gemetar
menanti rizki yang datang dengan sabar. Masihkah ada waktu muhasabah sebelum
tidur, menyusuri wajah demi wajah, adakah yang belum tersantuni. Atau menelisik
kader yang hanya diberi sanksi, tanpa seorang pun tahu, tiga hari ini ia tak
punya tenaga karena sama sekali tak dapat makanan.
Ini mozaik
kehidupan kita yang harus ditata menjadi serasi dan harmoni. Malang nasib dia
yang mati rasa, nyinyir menyindir kesengsaraan saudara sebagai buah kemalasan,
seraya menghabiskan bertalam-talam makanan yang tak dapat lagi memenuhi rongga
perutnya. Bagaimana ia dapat memahami gelombang besar rakyat jelata yang bagai
singa terluka, menanti kapan saatnya menerkam dengan penuh murka.[]
[pks.or.id]
Cermin Diri
KH Rahmat
Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)
Orang-orang bijak
pernah berpesan "Ma halaka ‘amru-un arafa Qadra nafsihi" (Tak akan
celaka orang yang kenal harkat dirinya). Telah banyak orang binasa karena
terlalu tinggi memasang harga diatas realita dirinya. Banyak yang lenyap dari
peredaran karena terlalu murah menghargai dirinya – dengan waham ‘tawadhu’ atau
perasaan tidak mampu dan tidak punya apa-apa. Selebihnya adalah jenis orang
yang berjalan dalam tidur atau tidur sambil berjalan. Tepatnya pengigau berat.
Ia tak pernah bisa menyadari dimana posisinya, apa yang terjadi di sekitarnya
dan apa bahaya yang mengancam ummatnya.
Dalam kaitan
sistem, baik ormas, partai atau pemerintahan kerap terjebak dalam wa-ham-waham
kekuasaan ; berbahasa dan bertindak dengan pendekatan kekuasaan. Mereka yang
‘berkuasa’ merasa percaya diri, hanya karena secara de jure punya otoritas atas
wilayah territorial, wilayah problematika dan wilayah sumber daya manusia.
Bahwa wilayah ruhaniyah dan wilayah fikriyah tak dapat ditundukkan begitu saja
oleh senjata, uang dan kedudukan, kerap luput dari renungan. Entah karena
inikah ketika ALLAH mengaitkan keselamatan dunia dengan keberadaan Ulu Baqiyah
(orang-orang yang potensial dipertahankan keberadaannya) dan mengemban misi
‘mencegah kerusakan di muka bumi’, justeru pada saat yang sama mereka yang
(berbakat) zalim terus saja mengikuti kecenderungan hedonik mereka dan
karenanya mereka menjadi durhaka (Qs. 10;116).
Ghurur Hal
terberat yang kau hadapi bukan keraguan, kebencian dan permusuhan orang yang
tak mengenalmu. Sekeras apapun hati mereka, kekuatan Hidayah dapat menundukkan
mereka kepada kebenaran da’wahmu, dengan idzin-Nya. Bila itu pun tidak, engkau
tak akan dipersalahkan, karena tataranmu dakwah dan tataran-Nya hidayah. Cobaan
berat, justru pada percaya diri yang tidak proporsional. Engkau nikmati benar
sanjungan orang terhadap dirimu atau jamaahmu, padahal engkau sendiri jauh dari
kepatutan itu. Malang nasibmu wahai orang yang percaya kepada kejahilan orang
yang menyanjungmu, sedangkan engkau sangat terang melihat kekurangan dirimu.
Mentalitas Qarun tersimpul dalam satu kalimat "Hadza Li" (Semua ini
karyaku, karena aku, milikku).
Ketika arogansi
mendominasi hubungan ‘yang adi daya’ dengan ‘yang tak berdaya’, maka yang
pertama harus membayar ongkos yang sangat mahal ; dari antipati sampai kutukan
mereka yang tak berdaya. Berat menyadarkan orang yang otaknya berjelaga, egois
dan hanya melihat apa yang mereka anggap hak, tanpa kesadaran seimbang akan
kewajiban. Kepada mereka Imam Syafii menegaskan :
Bila engkau
mendekatiku, mendekat pula cintaku Jika engkau menjauh, aku kan lebih jauh
darimu Dalam hidup masing-masing kita Tak bergantung dengan saudara Dan kita
lebih tidak bergantung lagi bila tamat usia
Orang yang mentah
fikiran selalu mengandalkan sanjungan kosong, tak berbasis pada prestasi, atau
mungkin mereka berprestasi, namun menganggap itu sebagai hal besar yang
memungkinkan mereka memonopoli kebajikan. "Mereka membangkit-bangkit
keislaman mereka (sebagai jasa) kepadamu. Katakan : ‘Janganlah kalian
bangkit-bangkitkan kepadaku keislamanmu, akan tetapi ALLAH lah yang telah
memberi karunia besar dengan membimbing kalian kepada Iman…" (Qs. 49:17)
Sebelum bubarnya
Uni Sovyet, ada dua spesies yang sangat dibenci rakyat ; 1. Partai Komunis, 2.
etnik Rus. Yang pertama dibenci karena selalu ingin campur dalam segala urusan
orang. Dari urusan menteri, tentara, pegawai negeri, isteri pegawai, anak
pegawai sampai mimpi-mimpi rakyat. Yang kedua tak tahu diri sebagai mayoritas,
bagaikan truk besar yang berlari kencang, anginnya mementalkan
kendaraan-kendaraan kecil di tepi jalan.
Cermati bagaimana
karakter kekuasaan itu tumbuh. Banyak orang yang berkuasa mengabaikan
pengenalan wilayah-wilayah kekuasaan dengan segala karakternya. Pemerintah yang
mempunyai otoritas memulainya dengan 3 wilayah : 1. Wilayah ardliyah
(teritorial), 2. Wilayah insaniyah (kemanusiaan, SDM, rakyat), 3. Wilayah
masailiyah (problematika). Dengan ketiga otoritas ini mereka dapat menggusur
tanah rakyat, membagi HPH, menaikkan pajak, tarif, UMR, memainkan money
politik, mencetak uang untuk kepentingan partai, membunuh karakter lawan
politik dan memenjarakan mereka. Berapa lama mereka dapat berkuasa dengan tiga
pilar ini ? Entahlah, yang jelas telah bertumbangan begitu banyak rezim dengan
begitu banyak dana, senjata dan tentara. Mereka melupakan 2 wilayah yang
sebenarnya pagi-pagi harus sudah dikuasai, bahkan sebelum mereka menguasai wilayah-wilayah
lainnya. Jauh sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, rumah-rumah disana
sudah menaungi begitu banyak muslim.
Pada penghujung
era Makkiyah, baiah Aqabah II telah menyuratkan pesan yang begitu kuat.
"Kami siap melindungi Rasulu’Llah SAW, sebagaimana kami melindungi
anak-anak dan isteri-isteri kami". Madinah telah dikukuhkan menjadi bumi
Islam sebelum para Muhajir berangkat kesana. Rasulullah sudah ditunggu dengan
segala kerinduan, sebelum mereka melihat wajahnya. Da’wah Qur-an telah mengakar
dalam wilayah ruhaniyah dan wilayah fikriyah mereka, dua wilayah yang pada
saatnya melahirkan energi besar, mengalahkan semua penguasa yang hanya berpuas
diri dengan tiga wilayah yang serba refleks, fenomenal dan efektif untuk waktu
singkat.
Wahan Tak kalah
beratnya beban mental orang yang sama sekali tak mampu memberikan kontribusi.
Ia sendiri tak mampu membantu dirinya sendiri, bahkan dengan sekedar percaya
dan menyadari bahwa dirinya dapat berperan. Paradigma "La syai-a
indi" (Saya tak punya apa-apa), telah banyak merugikan ummat. Dari sini
orang berbuat, dari kontra produktif sampai amoral. Ia tak merasa ada kaitan
sepak-terjangnya dengan lingkungannya. Ia mampu melumuri citranya – sama
seperti mereka yang over pede – tanpa cemas hal itu akan berdampak luas, bagi
diri, keluarga dan lingkungannya. Mereka banyak memubadzirkan umur dan hidup
tanpa program. Rendah diri dan karenanya tak jarang merawat hasad, dengki dan
khianat.
Mereka dapat
tampil dalam figur seorang alim, publik figur dan apa saja yang ‘mulia’, namun
mengabaikan berkah amal jama’i, karena merasa ‘tak sebodoh’ komunitasnya atau
lupa bahwa dirinya (dapat menjadi) besar di tengah mereka. Terkadang batas
antara orang yang berlebihan percaya diri dengan yang sangat tak percaya diri,
begitu sulit dibedakan. Kritik pedas bisa datang dari mereka yang gagal
melaksanakan apa yang dikritiknya. Atau yang tak cukup punya keberanian
berargumentasi karena kurang pedenya.
Marilah berjabat
tangan, ayunkah langkah dengan yakin dan lengkapi kekurangan diri dengan
kelebihan saudara atau sebaliknya menopang kelemahan mereka dengan kekuatan
diri yang ALLAH amanahkan. Banyak orang bingung mencari lahan kerja dan lahan
kerja Da’wah tak pernah tutup.
Dimana posisimu ?
Mungkin beberapa kalangan akan keberatan bila kukatakan engkau telah menyulam
halaman da’wah di negeri ini dengan benang emas dan menyemaikan benih-benih
berkah di lahan tandus, sehingga berubah menjadi ladang-ladang subur masa
depan. Pohon keadilan, buah kemakmuran, bunga kesetaraan, ranah kesetiaan dan
rumah kasih sayang. Bukan tujuanmu menciptakan iri. Ada yang begitu geram
ketika hamba-hamba ALLAH perempuan keluar dari setiap gang dan kampus dengan
jilbab mereka yang anggun dan IP mereka yang cemerleng. 20 tahun yang lalu
harus keluar dari sekolah negeri yang dibangun dengan uang pajak mereka
sendiri. Ya, kebangkitan memang bukan hanya sisi ini, namun banyak kebaikan
tersimpulkan pada aspek ini. Intinya ; Perubahan.
Dan hari ini
puncak gunung es itu telah memperlihatkan dinamika besar kebangkitan, shahwah
yang penuh berkah. Tauhid adalah sistem konstruksi terpadu yang meletakkan
segalanya tepat pada tempat, peran dan kepatutannya. Intelektual adalah sistem
pengapianmu yang tak pernah padam. Kader-kader yang selalu ikhlas berkorban
adalah roda yang siap menjelajah medan-medan berat. Keulamaan adalah sistem
kendali-mu yang tahu kapan harus berbelok, menanjak, menurun dan menerobos
hutan belantara, padang tandus serta bebatuan. Yang tak bergaransi ialah
kondisi jalan, bahkan sekali pun dengan rute yang jelas dan lurus, kendaraan
yang teruji, kru yang jujur, pakar dan sabar.
Dari semua
setting ini, tentukanlah dimana posisimu ; penonton yang mencari hiburan,
penunggu yang tak punya empati, atau pengharap kegagalan karena ada yang tak
sejalan dengan persepsi mereka. Atau penuntun dan pengikut dengan pengenalan
sistem navigasi yang akurat dan keyakinan yang mantap, bahwa laut tetap
bergelom-bang dan di seberang ada pantai harapan.[]
[pks.or.id]
Kutbah 'Iedul
Adha 1421 H
(Ust.Rahmat
Abdullah)
Beberapa kali Ied
kita, beberapa kali takbir dimalam dan siang hari raya-hari raya kita dalam
beberapa tahun terakhir masih terus diliputi keprihatinan yang sangat dalam.
Hari raya ditengah asap dan api ; rumah ibadah, rumah tinggal, pasar dan
sekolah yang hangus serta darah yang tertumpah, nyawa yang melayang dan
tubuh-tubuh kaku yang terbunuh. Lebih-lebih lagi pahitnya sebagian petinggi dan
orang-orang yang diberi amanah oleh ma-syarakat mengesankan sikap mendukung,
memaklumi atau me-wajarkan kezaliman. Inna lillahi wainna ilahi raji’un ! Tak
ada yang lebih patut bagi para hamba ALLAH yang beriman kecuali semakin
menundukkan kepala, merendahkan hati dan mengakui segala dosa, seraya memohon
taubat dan ampunan ALLAH
Maka mengapa
mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika
datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan
syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan.
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka,
Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila
mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa
mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.
Kisah haji adalah
kisah pengorbanan, sama sebagai-mana sejarah qurban itu sendiri. Tidak ada yang
dapat menyuburkan iman seorang mukmin sebaik pengor-banan, seperti pupuk
menyuburkan tetumbuhan. Seseo-rang yang berjiwa besar sangat sadar bahwa
kemuliaan, kepemimpinan dan kebahagiaan tak mungkin diraih tanpa pengorbanan.
Ujian merupakan syarat naik jenjang dan ke-pangkatan di hadapan ALLAH dan di
tengah ummat manusia. ALLAH berfirman ( 2;124)
Dan (ingatlah),
ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan),
lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan
menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya
mohon ju-ga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak
mengenai orang-orang yang zalim".
Seberapa besar
ujian yang dihadapi para rasul, ulama amilin dan mujahidin ? Cobalah bayangkan
satu episode perjalanan nabi Ibrahim AS. Imam Bukhari meriwayatkan :
“…… kemudian
Ibrahim membawa isterinya beserta anaknya (Isail AS) yang sedang disusukannya,
sampai ia meletakkannya di Baitullah di Dauhah, diatas Zamzam (yang belum lagi
muncul kala itu) di bagian masjid yang paling tinggi. Di Makkah waktu itu belum
ada manusia dan belum ada air. Ia letakkan mereka disana. Ia bekali mereka
dengan sekantung kurma dan sekan-tung air dan segera bergegas pergi. Ummu
Ismail mengikutinya sambil bertanya “Wahai Ibrahim, akan kemana kau pergi
me-ninggalkan kami di lembah ini tanpa siapa-siapa tanpa apa-apa ?”.
Diucapkannya kalimat itu berulang-ulang, namun ia tak juga menoleh. Akhirnya
Ummu Ismail bertanya : ALLAH kah yang menyuruhmu melakukan ini ?” Ia menja-wab
: “Ya”. Ummu Ismail berkata : “jika begitu, tentulah Ia takkan sia-siakan
kami”, kemudian ia kembali dan Ibrahim berangkat. Sesampainya di tsaniyah
(jalan tinggi di bukit) tem-pat mereka tak lagi melihatnya, ia hadapkan
wajahnya ke Bait Allah, berdoa dengan beberapa kalimat dan mengangkat kedua
tangannya :
Ya Tuhan kami,
sesungguhnya aku telah menempatkan sebaha-gian keturunanku di lembah yang tidak
mempunyai tanam-ta-naman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya
Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah
hati sebagian manusia cenderung kepada me-reka dan beri rezkilah mereka dari
buah-buahan, mudah-mu-dahan mereka bersyukur.
Lihatlah, betapa
lurusnya keluarga ini memandang perintah ALLAH. Betapa ringannya mereka
melaksanakan titah agung i-ni. Mereka utamakan ketaatan daripada kesenangan
pribadi. Dari ketiga permintaan, ternyata yang pertama dimintanya agar
ketu-runannya menjadi penegak shalat, kemudian untuk menopang da’wah ia minta
mereka dicintai ummat manusia, barulah per-mintaan ketiga agar ALLAH memberikan
mereka rezki. Padahal keadaan sangat sulit ; tak ada sanak, kerabat bahkan
manusia, tak ada air dan sumber makanan. Hanya mereka berdua ; seorang
perempuan yang baru melahirkan dan bayi kecil yang baru bebe-rapa belas atau
beberapa puluh tahun kedepan diangkat menjadi rasul.
Dimana keluarga
modern hari ini dengan keturunan yang sangat terjaga dan tercukupi, bahkan
dimanjakan makan minum mereka dibandingkan mereka yang serba kekurangan dan
jauh dari kese-nangan ? Lihatlah bedanya keluarga dunia, benda dan nafsu
di-bandingkan keluarga akhirat, iman dan akhlaq. Apa yang mam-pu dihasilkan
keluarga modern dengan kecukupannya diban-dingkan keluarga para rasul dan
orang-orang saleh dalam keku-rangan mereka. Soalnya bukan soal kaya atau
miskin, tetapi keterikatan dan kesetiaan mereka kepada ALLAH, seperti sifat
para pemakmur masjid dan jamaah kebajikan :
Bertasbih kepada
Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut
nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari saat
hati dan penglihatan menjadi guncang.
Bagaimana para
nabi tahan diejek dan dikucilkan, difitnah dan diintimidasi, dibunuh dan diusir
dari tanah air, suatu hal yang tak pantas dilakukan terhadap manusia-manusia
jujur di tengah bangsanya, yang hewanpun tak pernah mendapat perlakuan zalim
dari mereka.
Dari Urwah, dari
Aisyah RA, beliau pernah berkata : “Demi ALLAH wahai ananda, pernah kami
memperhatikan hilal (bulan sabit), kemudian satu hilal, sampai tiga hilal dalam
dua bulan, tak ada api yang menyala di rumah Rasulullah SAW”. Kuberta-nya :
‘Apa yang menghidupimu selama itu ?’ Beliau menjawab : “Air dan kurma. Hanya
saja Rasulullah SAW punya tetangga yang memiliki kambing susu, mereka
mengirimkan sebagian susunya untuk minuman kami”
Berkata Utbah bin
Ghazwan dalam satu khutbahnya : “Sungguh kulihat diriku satu dari tujuh orang
sahabat bersama Rasulullah SAW, tak ada lagi makanan pada kami kecuali dedaunan
pohon, sehingga bengkaklah kerongkongan kami. Kutemukan sehelai mantel, kubelah
dua dengan Sa’d bin Malik, setengahnya kupakai dan setengahnya lagi dipakai
Sa’d. Hari ini setiap kami - tanpa kecuali - telah menjadi amir (gubernur) di
kota-kota besar. Aku berlindung kepada ALLAH agar tidak menjadi besar dalam
pandangan sendiri dan kecil dalam pandangan ALLAH”
Apa yang dipanen
sebuah bangsa muslim yang besar ini, saat ba-nyak orang tua hanya berfikir
ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah, semoga ia kelak punya kedudukan yang
basah bila jadi pejabat, menjadi orang pintar yang dapat kaya dalam waktu
singkat atau menjadi santeri yang pandai berceramah sehingga laris dan mudah
menghimpun pengikut serta segala kekayaan yang menyusulnya. Betapa rentannya
semua ini menghadapi konflik horizontal, saling bunuh, penghancuran dan
pembakaran harta sesama, pemanjangan derita rakyat dengan KKN baru,
ke-dakpedulian terhadap munculnya berbagai kemunkaran, marak-nya perjudian
gelap dan terang, 2 juta mangsa narkoba yang me-lumpuhkan bangsa ini, pelacuran
dengan alasan klasik kesulitan hidup.
Sebuah masyarakat
adalah cermin keluarga didalamnya. Ke-pemimpinan yang sehat selalu berfikir
bagaimana melayani, mengayomi dan mendidik bangsa ke arah kemuliaan. Bukan
mencengkeram mereka dengan kejam dengan alasan pendewasa-an, pengamanan atau
perlindungan, tidak pula membiarkan me-reka bebas tanpa kendali dengan alasan
apapun, baik HAM, de-mokratisasi atau pemberdayaan masyarakat.
Sesungguhnya dari
berbagai pensikapan bangsa terhadap para rasul mereka, kita dapatkan pelajaran
dan rambu-rambu sangat berharga.
Bila sikap
ikhlas, ketundukan diri dan pengorbanan, menjadi jiwa bangsa, maka generasi
yang ada akan mendapatkan begitu banyak keberkahan. Lihatlah cermin perempuan
terdidik seperti Ummu Ismail AS yang dengan yakin mengatakan : “Idzan la
Yudlayyi’ana (Kalau begitu Ia tak akan sis-siakan kami)”. Dari rahim dan asuhan
mereka akan lahir generasi Ismail AS yang dengan yakinnya menjawab :
Qs. (37:102) :
Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku sesung-guhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapak-ku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".
Bila kebodohan
dan nafsu telah menguasai kehidupan suatu ma-syarakat, maka mereka lebih suka
memilih pola hidup material-listik dan hedonik ; semua demi benda dan
kesenangan. Tujuan-tujuan luhur menjadi kabur, nilai dan akhlak mulia menjadi
lun-tur, persaudaraan, kasih sayang dan kesetiaan menjadi hancur.
Peran ibu dirumah
tangga sangat strategis dalam membentuk bangsa.Bentukan baik atau buruk, amanat
atau khianat, iman atau kufur, sangat terkait dengan sikap dan kiprah mereka.
Ibu kandung atau ibu nasab, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam da’wah dan
pendidikan ;
Allah membuat
isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi o-rang-orang kafir. Keduanya berada
di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu
ke-dua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu
tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (sik-sa) Allah; dan dikatakan
(kepada keduanya); "Masuklah ke ne-raka bersama orang-orang yang masuk (neraka)".
Dan Allah membuat isteri Fir`aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman,
ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu
dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya dan
selamatkanlah aku dari ka-um yang zalim",
Ibunda nabi
Ismail, ibunda kandung nabi Musa yang melahirkan, menyusukan dan merawatnya dan
ibunda asuh nabi Musa, yang merawatnya dan aktif membelanya dari berkali-kali
rencana pembunuhan oleh Firaun, sejak bayi sampai jadi nabi, semua menunjukkan
adanya ta’tsir (pengaruh) berkesinambungan pada anak nasab ataupun anak asuh.
Demikian halnya peran pendidik di tubuh bangsa sebagai tanggungjawab para
pemimpin dan pe-mimpin tertinggi, bila telah menyimpang dari jalan yang lurus,
bersikap seperti isteri nabi Nuh AS yang mengkhianati ajaran suaminya, maka
anak-anak bangsa akan menjadi seperti anak nabi Nuh yang menolak bergabung
dalam bahtera penyelamat.
Dan bahtera itu
berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya
sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah
(ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang
kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung
yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang
melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha
Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah
anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.
Kalau hukum,
undang-undang dan para penegak hukum begitu keras kepada pelanggar lalu
lintas….. Kalau para polisi menang-kap pengendara sepeda motor yang tak
menggunakan helm, de-ngan dalih perlindungan batok kepala rakyat, lebih
beralasan lagi bila mereka bertindak tegas melindungi isi yang ada dibalik
ba-tok kepala itu dari segala yang merusaknya, baik dengan meme-rangi
sekeras-keras-nya tayangan, siaran atau penerbitan porno, permissive, atheis,
syirik serta takhayul, khurafat dan bid’ah, yang telah menyebab-kan lebih dari
dua juta rakyat terutama generasi mudanya berge-limang dalam narkoba perjudian,
zina dan berbagai sikap arogan dihadapan ALLAH Rabbul Jalal. Juga memerangi
para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat di negeri yang kaya raya ini.
Kalau kekuasaan, kekayaan dan ber-bagai ni’mat yang dilimpah-kan kepada suatu
bangsa, pemerin-tah dan rakyatnya, maka ke-sombongan akan menjadi perhiasan dan
kebanggan mereka. Da’wah keabjikan dianggap gangguan, amar ma’ruf nahi mun-kar
dianggap makar, karena semua tak suka dihalangi dari aksi bunuh diri massal
dalam maksiat yang terlaknat itu. Simaklah komentar bangsa-bangsa dimasa lalu
ke-pada para rasul mereka :
Kaum Nabi Luth
(7;82/27;56)
Jawab kaumnya
tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan
pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang berpura-pura mensucikan diri."
Kaum nabi Shalih
(11;62)
Kaum Tsamud
berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebe-lum ini adalah seorang di
antara kami yang kami harapkan, a-pakah kamu melarang kami untuk menyembah apa
yang disem-bah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-be-tul dalam
keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada
kami."
Kaum Musyrikin
Quraisy kerabat Rasulu’LLAH Muhammad, Saw.
Dan (ingatlah),
ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk
menangkap dan memenjarakan-mu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka
memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah
sebaik-baik Pembalas tipu daya. (Alanfal 30)
Taqwa telah
menjadi kalimat yang begitu gampang diucapkan sembarang mulut, padahal ia
adalah sebuah hakekat, bukan kla-im atau akuan, bukan pula pameran dan
kepura-puraan. Ketika melihat melimpahruahnya jamaah haji, bertuturlah seorang
kha-lifah : “Oh, alangkah sedikitnya orang haji dan alangkah ba-nyaknya
wisatawan”. ALLAH mengingatkan tentang hakekat qurban :
Daging-daging dan
darah qurban itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari
kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk
kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dalam sebuah
hadits Rasulullah SAW menyatakan :
Dari Abi Hurairah
RA, ia berkata : ‘Rasulullah SAW bersabda : “Seorang muslim adalah saudara
muslim, ia tak boleh mengkhianatinya, mendustai-nya, menghinakannya. Setiap
muslim haram bagi sesama muslim ; kehor-matannya, hartanya, darahnya. Taqwa
disini (beliau memberi isyarat ke dadanya). Cukuplah se-seorang (menjadi) jahat
karena menghina saudara muslimnya”
Dari Sa’d bin Abi
Waqqash RA, beliau berkata : “Akulah orang Arab pertama yang melemparkan tombak
di Jalan ALLAH. Sungguh kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW, tanpa
punya makanan selain daun hublah dan samur ini. Sungguh kami buang air seperti
kotoran domba, tanpa cam-puran” (Muttafaq Alaih, Bukhari Muslim)
[pks.or.id]
[catatan:
beberapa ayat / hadits / lafaz dalam bahasa Arab tidak dapat ditampilkan,
karena hilangnya file image ayat / hadits / lafaz tersebut]
Militansi
Oleh: KH Rahmat
Abdullah
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Ba’da tahmid wa
shalawat.
Ikhwah
rahimakumullah,
Allah SWT
berfirman di dalam Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : Ya Yahya hudzil kitaaba bi
quwwah ..”.
Tatkala Allah SWT
memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh
mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan
quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.
Sejarah telah
diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan
oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan
dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan
mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.
Namun kebatilan
pun dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah
Ali bin Abi Thalib ra menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan
dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah,
Allah memberikan
ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka
yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan
yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan
memperoleh ganjaran yang hebat.
Di situlah letak
hikmahnya yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti
jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan,
azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.
Ali sempat
mengeluh ketika melihat semangat juang pasukannya mulai melemah, sementara para
pemberontak sudah demikian destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para
pengikut Ali saat itu malah menjadi ragu-ragu dan gamang, sehingga Ali perlu
mengingatkan mereka dengan kalimatnya yang terkenal tersebut.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah,
Ketika Allah
menyuruh Nabi Musa as mengikuti petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan
abadi, pelajaran yang mahal dan kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan
untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan
penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya
dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang teguh kepada perintah-perintahnya
dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri
orang-orang yang fasiq”.(QS. Al-A’raaf (7):145)
Demikian juga
perintah-Nya terhadap Yahya, dalam surat Maryam ayat 12: “Hudzil kitaab bi
quwwah” (Ambil kitab ini dengan quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah
untuk mengemban amanah-Nya dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini
juga nampak pada diri Ulul Azmi (lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa,
Muhammad yang dianggap memiliki azam terkuat).
Dakwah berkembang
di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah
pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia
para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita,
semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.
Apa artinya usia
panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3
baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal
sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”.
Hendaknya kita melihat
bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya
sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun
sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan
sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi
kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.
Seharusnyalah
kisah-kisah tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita.
Seperti digambarkan dalam QS. 11:120, orang-orang yang beristiqomah di jalan
Allah akan mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak
kunjung dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar
kemungkinannya ada yang salah dalam diri kita. Seringkali kurangnya jiddiyah
(kesungguh-sungguhan) dalam diri kita membuat kita mudah berkata hal-hal yang
membatalkan keteladanan mereka atas diri kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita
bukan Nabi. Ah itu kan istri Nabi, kita kan bukan istri Nabi”. Padahal memang
tanpa jiddiyah sulit bagi kita untuk menarik ibrah dari keteladanan para Nabi,
Rasul dan pengikut-pengikutnya.
Ayyuhal ikhwah
rahimakumullah,
Di antara sekian
jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan
bukannya kemiskinan harta.
Misalnya anak
yang mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya
untuk berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan
dari tetes keringatnya sendiri.
Boleh jadi dengan
kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari
segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki
azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan
seterusnya.
Demikian pula
dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah.
Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat
tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.
Kita dapat
melihatnya dalam kisah Nabi Musa as. Kita melihat bagaimana kesabaran,
keuletan, ketangguhan dan kedekatan hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa
as berhasil membawa umatnya terbebas dari belenggu tirani dan kejahatan
Fir’aun.
Berkat do’a Nabi
Musa as dan pertolongan Allah melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah
Nabi Musa dan para pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah
terbelah menyerupai jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.
Namun apa yang
terjadi? Sesampainya di seberang dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah
berhala, mereka malah meminta dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah.
Padahal sewajarnya mereka yang telah lama menderita di bawah kezaliman Fir’aun
dan kemudian diselamatkan Allah, tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah
dan berusaha mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman,
pemahaman dan kesungguh-sungguhan membuat mereka terjerumus kepada
kejahiliyahan.
Sekali lagi
marilah kita menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah.
Kembali kita akan menarik ibrah dari kisah Nabi Musa as dan kaumnya.
Dalam QS.
Al-Maidah (5) ayat 20-26 :
“Dan (ingatlah)
ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu,
ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang
merdeka dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada
seorangpun di antara umat-umat yang lain”.
“Hai, kaumku,
masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan
janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi
orang-orang yang merugi”.
“Mereka berkata:
“Hai Musa, sesungguhnya dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa,
sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari
negri itu. Jika mereka keluar dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.
“Berkatalah dua
orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi
nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu,
maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah
hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
“Mereka berkata:
“Hai Musa kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka
ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu
berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.
“Berkata Musa:
“Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu
pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasiq itu”.
“Allah berfirman:
“(Jika demikian), maka sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama
empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi
(padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib)
orang-orang yang fasiq itu”.
Rangkaian
ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi
kita, yakni bahwa manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan
yang sangat terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi
jika mereka mau berusaha seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11,
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha
merubahnya sendiri”.
Nabi Musa as
adalah pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka
tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari
pengejaran dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas,
Allah SWT berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga
menjawab segala kecemasan, keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum
dalam QS. Asy-Syu’ara (26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling
melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan
tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku
bersamaku, kelak Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.
Semestinya kaum
Nabi Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai
Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena
jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti
akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya
melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi
semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh
merupakan opium, candu yang berbahaya.
Mereka
menginginkan hasil tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah
“qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka
melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.
Seandainya mereka
yakin akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu
tsiqqah pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah
akan memasuki Palestina dengan selamat. Bukankah Allah SWT telah berfirman
dalam QS. 47:7, “In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam” (Jika
engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).
Hendaknya jangan
sampai kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya,
mereka dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang
sendiri. “Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan
akhlak dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki
negri itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa
memasuki negri itu.
Namun demikian,
Allah yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna
dan salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum.
Tetapi tetap saja
kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka
mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.
Orientasi
keduniawian yang begitu dominan pada diri mereka membuat mereka begitu kurang
ajar dan tidak beradab dalam bersikap terhadap pemimpin. Mereka berkata:
“Ud’uulanaa robbaka” (Mintakan bagi kami pada Tuhanmu). Seyogyanya mereka
berkata: “Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan kita”.
Kebodohan seperti
itu pun kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus
Muslim, tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di
masjid yang menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka
duduk-duduk atau berdiri menonton saja.
Rasulullah saw
memang telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan
mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah,
sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat
bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”.
Kebodohan dalam
meneladani Rasulullah juga bisa terjadi di kalangan para pemikul dakwah sebagai
warasatul anbiya (pewaris nabi).
Mereka mengambil
keteladanan dari beliau secara tidak tepat. Banyak ulama atau kiai yang suka
disambut, dielu-elukan dan dilayani padahal Rasulullah tidak suka dilayani,
dielu-elukan apalagi didewakan. Sebaliknya mereka enggan untuk mewarisi
kepahitan, pengorbanan dan perjuangan Rasulullah. Hal itu menunjukkan
merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama amilin.
Mengapa hal itu
juga terjadi di kalangan ulama, orang-orang yang notabene sudah sangat faham.
Hal itu kiranya lebih disebabkan adanya pergeseran dalam hal cinta dan loyalitas,
cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya telah digantikan dengan cinta
kepada dunia.
Mentalitas
Bal’am, ulama di zaman Fir’aun adalah mentalitas anjing sebagaimana digambarkan
di Al-Qur’an. Dihalau dia menjulurkan lidah, didiamkan pun tetap menjulurkan
lidah. Bal’am bukannya memihak pada Musa, malah memihak pada Fir’aun. Karena ia
menyimpang dari jalur kebenaran, maka ia selalu dibayang-bayangi, didampingi
syaithan. Ulama jenis Bal’am tidak mau berpihak dan menyuarakan kebenaran
karena lebih suka menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan duniawi yang rendah.
Kader yang tulus
dan bersemangat tinggi pasti akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan
mulia. Misalnya, manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang
berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi
anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi
cincin berlian.
Ia baru akan
berlari mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya.
Sampailah anjing tersebut di tepi telaga yang bening dan ia serasa melihat
musuh di permukaan telaga yang dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena
kebodohannya ia tak tahu bahwa itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam
bayangan dirinya tersebut di telaga, hingga ia tenggelam dan mati.
Kebahagiaan
sejati akan diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan
rapuh, dan sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.
Nabi Yusuf as
sebuah contoh keistiqomahan, ia memilih di penjara daripada harus menuruti hawa
nafsu rendah manusia. Ia yang benar di penjara, sementara yang salah malah
bebas.
Ada satu hal lagi
yang bisa kita petik dari kisah Nabi Yusuf as. Wanita-wanita yang
mempergunjingkan Zulaikha diundang ke istana untuk melihat Nabi Yusuf. Mereka mengiris-iris
jari-jari tangan mereka karena terpesona melihat Nabi Yusuf. “Demi Allah, ini
pasti bukan manusia”. Kekaguman dan keterpesonaan mereka pada seraut wajah
tampan milik Nabi Yusuf membuat mereka tidak merasakan sakitnya teriris-iris.
Hal yang demikian
bisa pula terjadi pada orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama
para nabi dan rasul, shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan
sanggup melupakan sakitnya penderitaan dan kepahitan perjuangan karena
keterpesonaan mereka pada surga dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.
Itulah ibrah yang
harus dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah
adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita
berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan
tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita
miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.
Semoga kita
terhindar dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki
jiddiyah, militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Amin.
Wallahu a’lam bis
shawab.
[pks.or.id]
Buah Mengimani
Hari Akhir
Oleh: KH Rahmat
Abdullah
Iman terhadap
hari akhir (kiamat) secara khusus diulang-ulang, baik dalam Alquran maupun
Hadis. Kerap penyebutan itu terkait dengan penguatan komitmen untuk
melaksanakan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu. ''... jika berselisih
tentang sesuatu, hendaklah kalian kembalikan itu kepada Allah dan Rasul-Nya,
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir... (Qs 4:59).
kaki-kaki mereka
atas segala yang mereka kerjakan.'' (Qs 36:65). Karenanya, rangkaian amal
terkait jenazah bukan hanya berdampak sosial, tetapi juga moral-spiritual.
Alquran
berulang-ulang mengantar harapan Rasulullah saw dan para sahabat jauh ke depan,
bahwa kemenangan sejati akan mereka capai di akhirat nanti.
Dengan iman
terhadap hari akhir, seorang pejuang tidak kenal putus asa. Apa dan berapa saja
pengorbanan di jalan Allah, ia sangat yakin akan catatan dan ganjarannya.
Bahkan, Alquran melarang mengatakan mujahid yang syahid di jalan Allah sebagai
mati karena mereka memang hidup (QS 2:154/ 3:169).
Demikianlah para
rasul dan para pengikut tidak merasakan kepedihan dalam perjuangan. Kalau wajah
seorang Yusuf AS, remaja yang tampan, telah membuat perempuan-perempuan di
Mesir mengiris-iris jari-jari mereka tanpa sadar, betapa keindahan surga dan
kepastian janji Allah telah membuat para pejuang di jalan-Nya sama sekali tidak
merasa rugi, kalah atau sia-sia. Sebaliknya, mereka yang menzalimi diri sendiri
atau sesama harus segera ingat bahwa ada batas usia bagi kehidupan dan ada
persidangan yang adil. Sesudah itu kebahagiaan atau kesengsaraan abadi.
Iman terhadap
hari akhir menyuburkan sikap tanggung jawab. Mereka yang dipuji-Nya sebagai
orang-orang yang ''... pagi dan petang bertasbih di rumah-rumah Allah'' adalah
orang-orang yang tidak terlalaikan oleh aktivitas perdagangan dan jual beli,
dari mengingat Allah, menegakkan shalat dan menunaikan shalat, ''Karena mereka
takut akan hari saat berguncang-guncangnya hati dan penglihatan... (Qs 24:37)
Iman ini juga
menghasilkan, memelihara, dan meningkatkan keikhlasan, keteguhan, dan semangat
juang. Keberanian, kesungguhan dan optimisme adalah ciri khas mereka yang
beriman kepada Allah dan hari akhir.
'Sesungguhnya
yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat serta
tidak takut kepada siapa pun selain Allah ....'' (QS 9:18). Penyiksaan terhadap
keluarga Yasir RA sangat brutal, khususnya pembunuhan Sumayah, istri Yasir. Tak
ada lagi yang dapat dilakukan selain berdoa dan berharap. Keluarlah kata
bersayap Rasulullah, ''Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat kalian
berjumpa (esok) di surga.''
Sangat menyentuh
dan membuat gairah takwa saat membaca atau mendengar ayat-ayat Hari Akhir,
''Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga)
dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka
oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang
yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Di akhir-akhir
malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Pada harta-harta mereka ada hak
untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.''
(Addzariyat: 14-19).
[Republika,
Hikmah, 16 November 2002]
Kerendahan
Hati dan Kepekaan Sosial
KH Rahmat
Abdullah
Ketua MPP PK
Merendahlah,
engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di
pandang orang
Diatas riak air
dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti
asap
Yang mengangkat
diri tinggi di langit
Padahal dirinya
rendah-hina
Alangkah
nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya, Alangkah mengharukannya
dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak membela kita
daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki bermil-mil,
dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan
jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka ?
Dukungan ini tak
lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di pelbagai
medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak terragukan. Yang kepekaannya
terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh ke-ikhlasan
dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai
tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian
kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.
Akan teruskah
dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih berganti dan
berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan ? Demikian
mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah menjadi
taufan dan amuk balik yang mematikan.
Rakyat terlalu
lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut
mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya
ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku
reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan
kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang
sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan
pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan mem-buktikan), “Bila Anda perlu
mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan
kami akan antar ke rumah rawat”. Mereka tak punya cukup keberanian untuk
menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba mewah. Mereka pun tak cukup
mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga saling menunggu, kalau-kalau
tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau ‘melempar’ mesin cuci butut atau
kompor bekas yang sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli
tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak
tetangga lainnya.
Kader Pra Pemilu
Banyak kader
tahan berbincang berjam-jam dengan rakyat jelata, kuli bangunan dan
pengangguran, saat ia masih sama-sama miskin. Ia bisa dengan lahap menenggak
su-guhan teh panas di gelas mereka yang sederhana atau melahap sepotong dua
tempe yang mereka goreng diatas perapian kayu bakar atau kompor minyak yang
selalu me-nyimpan ancaman terselubung untuk meledak kapan-kapan waktu. Ia masih
punya frekuensi dan gelombang setara untuk saling berbagi suka dan duka. Yang
membedakan mereka mungkin satu, rakyat tak punya lidah yang cukup sistematis
dan tidak punya saluran yang memadai untuk mengalirkan aspirasi dan sang kader
punya ‘sistem’ untuk mengusung aspirasinya lewat saluran-saluran yang banyak
dan lancar. Saluran itu adalah suara rakyat, keikhlasan mereka memilih dalam
pemilu dan husnuzzhan yang luar biasa tingginya !
Apa yang
diharapkan rakyat dari dukungan mereka ? Ingin jadi anggota parlemen ? No way !
Mau jadi pejabat tinggi di partai atau di birokrasi ? Tak mimpi, lah. Begitu
tulus harapan mereka ; agar kebenaran dan keadilan bisa tegak di tangan para
kader yang akrab dan beradab, bersih dari KKN dan fasih membacakan ayat-ayat
kebenaran serta lantang mempidatokan gagasan-gagasan, janji-janji dan
gugatan-gugatan. Mereka punya basic insting yang murni untuk mendukung siapa
yang jujur, asal dekat, terjangkau dan meyakinkan.
Terlalu rumit
mencerna teori-teori politik dan paradigma da’wah, kecuali para kader telah
menyajikannya dengan pendekatan yang membumi. Otak mereka terlalu sarat beban
hidup, sehingga pilihan yang mudah diingat ialah wajah yang sering datang
pergi, lancung atau pendustakah mereka.
Disini demokrasi
menjadi mesin culas orang-orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara
licik. Partai dominan membiarkan kemiskinan untuk pada saatnya di-tukar dengan
suara murah di bilik pemilu. Partai mitos sengaja merawat kebodohan dan
memupuknya dengan berbagai mimpi kewalian, kekeramatan dan kemenangan agar
rakyat tetap mendukung dan tak menggunakan nikmat akal yang begitu mahal.
Rakyat Pasca
Pemilu
Kecuali dari
kelompok pengejar kedudukan – seperti bandar-bandar judi, bandar bakso atau
pemulung yang menjadi aleg dengan membeli kursi itu dari partainya dengan tarif
ratusan juta rupiah – selebihnya rakyat adalah rakyat. Yang nasib mereka terus
bergulir. Naik turun dalam kehidupan. Dengan gubug yang semakin rapuh, tergusur
atau menjadi gedung, anak yang semakin banyak tuntutan dan status yang selalu
diatasnamakan.
Terkadang muncul
penyimpangan pertumbuhan seksual anak-anak, karena kondisi rumah yang tak
kondusif bagi pendidikan. Harta habis untuk menebus anak yang di tangkap polisi
atau memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi mangsa narkoba.
Yang hanif tetap
dengan harapan-harapan yang entah kapan dapat terwujud. Hal yang tak berubah
dari mereka; dukungan.
Mereka sangat
sederhana dan tidak mengada-ada. Bila mereka mulai kecewa terhadap
partai-partai atau petinggi-petinggi partai atau apa saja komentar bisa sangat
getir:
- “Ah, lehernya
sudah tak bisa menoleh ke gubug kami lagi”
-
“Kerongkongannya sudah tak bisa dilewati gorengan singkong kami”
- “Mereka
orang-orang steril, alergi ketemu rakyat”
- “Ah, kita kan
cuma tangga, sesudah mereka menginjak-injak punggung kami, ya sudah, tinggal
senang-senang saja”
- “Dulu, waktu
masih perlu dukungan suara untuk Pemilu mereka sering datang, sekarang 3
lebaran lewat, la salam wala kalam”
- “Dulu sih, kita
masih berharap. Sekarang, apa bedanya dengan partai lain. Kadernya
sombong-sombong”
- “Apa yang
berubah, suaranya di parlemen: sepi, sepi, sepi ! Yang kita dengar ramai, itu
klakson mobil mengkilapnya. Pakaian isterinya makin gemerlap. Mainan anaknya
makin norak. Sudah itu mobil dinas dipakai nganter anak. Ngomongnya dulu Umar
bin Abdul Aziz mematikan lampu
karena tamunya tamu pribadi”
Kedekatan adalah
Bahasa Paling Fasih
Tidak benar
rakyat senang betul melihat para pemimpin lapar dan miskin. Ya, roman-tisme
siapa saja bisa terpanggil oleh kebersahajaan dan kesederhanaan, terlebih bila
itu keluar dari diri dan keluarga kader, pemimpin dan da’i.
Tidak perlu buang
energi, berkerut wajah dan berbusa mulut untuk meredam suara-suara begini.
Mereka hanya memerlukan keakraban, kebersahajaan dan kesederhanaan, lalu
berbagai prasangka segera menguap.
Bukan pergelaran
dendam kemiskinan, lagak pahlawan kesiangan atau pura-pura peduli. Mereka siap
dibohongi asal nampak logis.
Tetapi itu
mustahil, kecuali Anda memang dilahirkan untuk berbohong. Banyak orang panik
menghadapi kritikan yang sebagiannya memang berbukti, sebagiannya harapan dan
selebihnya ‘kenaifan’ analogi sejarah.
Bagaimana mungkin
pemimpin disuruh pergi berkeliling negeri malam-malam untuk mengintai ibu-ibu
yang menggodog batu, agar anak-anaknya tenang ?
Kini di siang
hari mereka telah menggodog kucing, untuk ‘menenangkan’ mereka. Kadang naluri
‘birokrat’ bekerja dengan jawaban-jawaban oral yang sengit dan apologik,
padahal jawabnya tersimpan dibalik kerendahan hati dan kepekaan sosial kader.
[]
[pks.or.id]
Gairah Cinta
dan Kelesuan Ukhuwwah
KH Rahmat
Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)
Mungkin terjadi
seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan
sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang.
Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah
saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang
kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu
masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi,
Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam
hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang
menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq".
Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HSR
Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).
Doktrin ukhuwah
dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan
susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah
(lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati)
dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan
saudara diatas kepentingan diri).
Bagi kesejatian
ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah :
"Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi
fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan
bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain
dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan
aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman
sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).
Gairah Cinta dan
Kelesuan Ukhuwah
Karena bersaudara
di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian
apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang
ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang
tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan
jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka
tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).
Masing-masing
kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun
terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan
yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah.
Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan
kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran
nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.
Ada seorang
ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah
langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup
mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi
pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah
petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung
menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar
melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah
telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang
hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati,
seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya
terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?"
Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau
da’wahku ?".
Dia mulai gundah,
kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya
tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia
kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini
dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas
sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta
kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos
segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih
mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah
beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan
anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal
dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.
Lain lagi kisah
sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip,
penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah.
Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’).
Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh
penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta
dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun
terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah".
Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua
datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin
kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan
menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan,
badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika
harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir
lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh
tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan
memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun
musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah
pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri
oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka
menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna
bighoirihim".
Di Titik Lemah
Ujian Datang
Akhirnya dari
beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada
dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka
tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di
(tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah
pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang.
Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara langsung tema
ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa
lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.
Waktu ujian itu
tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak
sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk
belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit
waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada
sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah
tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan
itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang
secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang
roda ekonominya sedang dibawah.
Seorang masyaikh
da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya
untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu,
karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya
diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya
begitu saja", ujar Syaikh tersebut.
Ternyata kita
temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan
mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling
lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah
justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada
saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi
kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah
es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju,
sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit
seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib.
Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati
ujian dan cobaan sepanjang hari.
Iman dan
Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah
Aqidah kita
mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH.
ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi
kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH
lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak
menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah
macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya?
Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang
isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian
yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau
keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari
kekayaan ALLAH ?
Karena itu mari
melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan
segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka
bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali,
sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan.
Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan
anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis
ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang".
Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan
diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling
menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai
saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan
dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.
Ayat ini
mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan
jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia
juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang
amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah
dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan
orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa
mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah
dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya
‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.
Kalau saja
Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas
menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah
SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin
tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah
kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil
dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan
dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.
Seni Membuat
Alasan
Perlu kehati-hatian
– sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat
husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri
mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya,
sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu.
Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih
baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan
ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana
posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu,
percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh
dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu
Athai'Llah.
Diantara nikmat
ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya
tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri.
Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan
menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".
Tetapi ALLAH-lah
Yang Memberi Mereka Karunia Besar
Kelengkapan Amal
Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi
eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan
kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa
kepada Islam dan da’wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman
mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai
sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi
kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang
jujur" (Qs. 49;17).
ALLAH telah
menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar.
Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang
lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna –
menung-gu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain
!" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama
kafilah kebahagiaan ini?.
Saling mendo’akan
sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari
jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa
itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata :
"Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah
kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang
saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan
cinta fi'Llah.
Ya ALLAH, kami
memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala
yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.[]
[pks.or.id]
Bulan Ramadlan
: Stasiun Besar Musafir Iman
Ustadz KH Rahmat
Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)
Tak pernah air
melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi
semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu
menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin
pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat
membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan
penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan
karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan
dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan
penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia
jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan
– saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali
dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari
menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat
orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen
yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap
erat-erat fitrah dan karakternya.
Marhaban ya
Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ Shiyami Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban
Syahra’l Qiyami
Keqariban di
Tengah Keghariban
Ahli zaman kini
mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya:
"Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja
atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita
telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika
‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang
Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling
benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu;
makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih
berpijak di bumi-Nya.
Betapa
menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia
yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis
yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang
luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar
lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut,
meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.
Semua ayat dari
183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat
yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari
inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang
Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).
Apa yang terjadi
pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan
wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah
tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi
menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke
bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru
yang rakus.
Bagaimana mereka
menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil,
hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau
anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing
dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa
lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi
keledai tunggangan para politisi bandit?
Berapa banyak
lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak
kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?
Nuzul Qur-an di
Hira, Nuzul di Hati
Ketika pertama
kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia
menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya
dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan
menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan
rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang
berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan
Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata
tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan
Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari
terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya,
fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya?
Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?
Jadi ketika
Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah
pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin
yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing,
saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta.
Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak
dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap
kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan
segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya
kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal
tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!
Alqur-an dulu,
baru yang lain
Bacalah Alqur-an,
ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan
dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan
serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan.
Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan
karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan
pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang
sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam,
menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.
Betapa da’wah
Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan
kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri.
Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah
ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya
yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan,
diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali,
‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan
surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak
menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.
Puasa: Da’wah,
tarbiah, jihad dan disiplin
Orang yang
tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama
malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau
menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi
masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan.
Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan
di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam
api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang
dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.
Mereka terbiasa
memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri
keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing.
Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami
ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya
apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).
Wahyu pertama
turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar
juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini
menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni
unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.
Bila mulutmu
bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga
menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg
menunggu jawaban serius. []
[pks.or.id]
Shalawat Atas
Nabi SAW
Oleh KH. Rahmat
Abdullah
Apa yang Tuan
pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan
dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang
amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak ada
seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia
produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari
dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan
sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.
Di rumahnya tak
dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai
seperti budak, padahal raja-raja dunia iri
terhadap kekokohan struktrur masyarakat dan
kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya
pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap
benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke
rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-Zahra
dan Ali bin Abi Thalib.
Fathimah
merasakan kasih sayangnya tanpa membuatnya menjadi manja dan
hilang kemandirian. Saat bani Makhzum memintanya membatalkan
eksekusi atas jenayah seorang perempuan bangsawan, ia menegaskan:
"Sesungguhnya yang membuat binasa orang-orang sebelum
kamu ialah, apabila seorang bangsawan mencuri kamu biarkan
dia dan apabila yang mencuri itu rakyat jelata mereka tegakkan
hukum atas-nya. Demi Allah, seandainya Fathimah anak Muhammad
mencuri, maka Muhammad tetap akan memotong tangannya."
Hari-harinya
penuh kerja dan intaian bahaya. Tapi tak menghalanginya
untuk -- lebih dari satu dua kali -- berlomba jalan
dengan Humaira, sebutan kesayangan yang ia berikan untuk Aisyah
binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Lambang kecintaan, paduan
kecerdasan dan pesona diri dijalin dengan hormat dan kasih
kepada Ash-Shiddiq, sesuai dengan namanya "si
Benar". Suatu kewajaran yang menakjubkan ketika dalam sibuknya ia masih
menyempatkan memerah susu domba atau menambal pakaian yang koyak. Setiap kali
para shahabat atau keluarganya memanggil ia menjawab:
"Labbaik". Dialah yang terbaik dengan prestasi besar di
luar rumah, namun tetap prima dalam status dan kualitasnya
sebagai "orang rumah".
Di bawah
pimpinannya, laki-laki menemukan jati dirinya sebagai laki-laki dan pada saat
yang sama perempuan mendapatkan kedudukan amat
mulia."Sebaik-baik kamu ialah yang terbaik terhadap
keluarganya dan akulah orang yang terbaik
diantara kamu terhadap keluargaku."
"Tak akan memuliakan perempuan kecuali
seorang mulia dan tak akan menghina perempuan
kecuali seorang hina," demikian pesannya.
Di sela 27 kali
pertempuran yang digelutinya langsung (ghazwah) atau di panglimai
shahabatnya (sariyah) sebanyak 35 kali, ia
masih sempat mengajar Al-Qur'an, sunnah, hukum,
peradilan, kepemimpinan, menerima delegasi asing, mendidik
kerumahtanggaan bahkan hubungan yang paling khusus
dalam keluarga tanpa kehilangan adab dan wibawa. Padahal,
masa antara dua pertempuran itu tak lebih dari 1,7 bulan.
Setiap kisah yang
dicatat dalam hari-harinya selalu bernilai sejarah. Suatu
hari datanglah ke masjid seorang Arab gunung yang belum mengerti
adab di masjid. Tiba-tiba ia kencing di lantai masjid
yang berbahan pasir. Para shahabat sangat murka dan hampir saja
memukulnya. Sabdanya kepada mereka: "Jangan. Biarkan ia
menyelesaikan hajatnya." Sang Badui terkagum. Ia
mengangkat tangannya, "Ya Allah, kasihilah
aku dan Muhammad. Jangan kasihi seorangpun
bersama kami." Dengan senyum ditegurnya
Badui tadi agar jangan mempersempit rahmat Allah.
Ia kerap
bercengkerama dengan para shahabatnya, bergaul dekat, bermain
dengan anak-anak, bahkan memangku balita mereka
di pangkuannya. Ia terima undangan mereka;
yang merdeka, budak laki-laki atau budak
perempuan, serta kamu miskin. Ia jenguk rakyat yang
sakit di ujung Madinah. Ia terima permohonan ma'af orang.
Ia selalu lebih
dulu memulai salam dan menjabat tangan siapa yang menjumpainya dan
tak pernah menarik tangan itu sebelum shahabat tersebut yang
menariknya. Tak pernah menjulurkan kaki di
tengah shahabatnya hingga menyempitkan ruang bagi mereka. Ia muliakan
siapa yang datang, kadang dengan membentangkan bajunya. Bahkan ia
berikan alas duduknya dan dengan sungguh-sungguh. Ia panggil mereka dengan nama
yang paling mereka sukai. Ia beri mereka kuniyah (sebutan bapak atau
ibu si Fulan). Tak pernah ia memotong pembicaraan orang,
kecuali sudah berlebihan. Apabila seseorang mendekatinya saat ia sholat,
ia cepat selesaikan sholatnya dan segera bertanya apa yang diinginkan orang
itu.
Pada suatu hari
dalam perkemahan tempur ia berkata:
"Seandainya ada seorang shalih mau mengawalku malam ini."
Dengan kesadaran dan cinta, beberapa shahabat mengawal
kemahnya. Di tengah malam terdengar suara gaduh yang
mencurigakan. Para shahabat bergegas ke arah sumber suara.
Ternyata Ia telah ada di sana mendahului mereka, tagak
di atas kuda tanpa pelana. "Tenang, hanya angin
gurun," hiburnya. Nyatalah bahwa keinginan ada pengawal
itu bukan karena ketakutan atau pemanjaan diri, tetapi pendidikan
disiplin dan loyalitas.
Ummul Mukminin
Aisyah Ra. Berkata : "Rasulullah SAW wafat tanpa meninggalkan
makanan apapun yang dimakan makhluk hidup, selain setengah ikat
gandum di penyimpananku. Saat ruhnya dijemput,
baju besinya masih digadaikan kepada seorang Yahudi untuk harga 30
gantang gandum."
Sungguh ia
berangkat haji dengan kendaraan yang sangat
seerhana dan pakaian tak lebih dari 4 dirham, seraya
berkata,"Ya Allah, jadikanlah ini haji yang tak mengandung
riya dan sum'ah." Pada kemenangan besar saat
Makkah ditaklukkan, dengan sejumlah besar pasukan
muslimin, ia menundukkan kepala, nyaris menyentuh
punggung untanya sambil selalu mengulang-ulang tasbih, tahmid
dan istighfar. Ia tidak mabuk kemenangan.
Betapapun
sulitnya mencari batas bentangan samudera kemuliaan ini, namun beberapa kalimat
ini membuat kita pantas menyesal tidak mencintainya
atau tak menggerakkan bibir mengucapkan shalawat atasnya:
"Semua nabi mendapatkan hak untuk mengangkat do'a
yang takkan ditolak dan aku menyimpannya untuk ummatku kelak
di padang Mahsyar nanti."
Ketika masyarakat
Thaif menolak dan menghinakannya, malaikat penjaga
bukit menawarkan untuk menghimpit mereka dengan
bukit. Ia menolak, "Kalau tidak mereka, aku berharap keturunan
dari sulbi mereka kelak akan menerima da'wah ini, mengabdi kepada Allah saja
dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun."
Mungkin dua kata
kunci ini menjadi gambaran kebesaran juwanya. Pertama, Allah, Sumber
kekuatan yang Maha dahsyat, kepada-Nya ia begitu refleks
menumpahkan semua keluhannya. Ini membuatnya amat tabah menerima segala
resiko perjuangan; kerabat yang menjauh, shahabat yang
membenci, dan khalayak yang mengusirnya dari negeri tercinta. Kedua,
Ummati, hamparan akal, nafsu dan perilaku yang
menantang untuk dibongkar, dipasang, diperbaiki, ditingkatkan
dan diukirnya.
Ya, Ummati, tak
cukupkah semua keutamaan ini menggetarkan hatimu dengan cinta,
menggerakkan tubuhmu dengan sunnah dan uswah serta mulutmu dengan ucapan
shalawat? Allah tidak mencukupkan pernyataan-Nya bahwa
Ia dan para malaikat bershalawat atasnya (QS 33:56 ), justru Ia nyatakan
dengan begitu "vulgar" perintah tersebut,
"Wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah atasnya
dan bersalamlah dengan sebenar-benar salam."
Allahumma shalli
'alaihi wa'ala aalih !
[pks.or.id]
KH Rahmat
Abdullah: Kebangkitan Islam Hanya Soal Waktu
PEKANBARU –
Cita-cita kebangkitan Islam bukanlah mimpi di siang bolong. Ia bisa diwujudkan
asal memenuhi syarat untuk bangkit. Selain eksistensi umat yang nyata disetiap
aspek kehidupan, kebangkitan juga mensyaratkan bangkitnya ulama dalam memimpin
umat. Ulama harus menjadi pelopor kebajikan dan suritauladan. Jika kedua syarat
itu terpenuhi, kebangkitan hanya soal waktu.
Demikian orasi
yang disampaikan Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) KH Rahmat Abdullah dihadapan ratusan massa kader PKS di halaman
Masjid Baitul Makmur, Jalan Warta Sari, Tangkerang Selatan, Pekanbaru, Riau,
Senin (22/9/2003) lalu.
Kehadiran
petinggi PKS itu di Pekanbaru adalah dalam rangka safari dakwah dan temu kader
PKS se-Pekanbaru.
Menurutnya,
kebangkitan Islam bisa tercapai dengan beberapa syarat. Pertama, kebangkitan
umatnya, yaitu jika umatnya telah eksis di seluruh aspek kehidupan. Kedua, kebangkitan
ulama, yakni jika para ulama mampu memberikan tauladan dalam kepemimpinan.
"Kebangkitan umat tidak akan terjadi tanpa kebangkitan ulama. Ulama harus
memberikan tauladan dalam memimpin. Sedangkan standar kebangkitan ulama bukan
dari segi materinya, tetapi eksisnya aqidah, keimanan, serta akhlaknya. Jika
sudah demikian, kebangkitan Islam tinggal menunggu waktu," papar Rahmat
yang juga Ketua Yayasan Pendidikan dan Dakwah Iqro, Pondok Gede, Bekasi.
Terkait dengan
tuduhan fitnah oleh negara-negara Barat dan sekutunya yang menuduh Indonesia
sebagai sarang teroris, Kyai karismatis itu mengatakan bahwa tuduhan itu
sebagai bukti ketakutan mereka terhadap kebangkitan Islam di Indonesia.
"Hal ini bisa dibandingkan ketika Orde Baru masih berkuasa, berlaku represif
terhadap umat Islam tidak pernah kita dengarkan tuduhan-tuduhan dari pihak
asing atau luar negeri," ungkapnya.
Ia menghimbau
kepada pemimpin negeri ini untuk tetap waspada dan hati-hati, jangan sampai
mengorbankan umat Islam lagi. Pesan yang sama juga disampaikan kepada kaum
muslimin agar menjaga ukhuwah dan tidak mudah termakan oleh stigma-stigma yang
sengaja dihembuskan untuk menyudutkan dan memecahbelah umat Islam. Sedangkan
kepada para kader PKS, Rahmat meminta mereka agar lebih giat dalam mendakwahkan
Islam kepada umat dengan kesabaran dan senantiasa meminta pertolongan pada
Allah SWT.
Ketika ditanya
oleh salah seorang peserta tentang dari mana mengajak seseorang untuk mencintai
Islam? Beliau memberikan contoh; sesorang yang ingin masuk Islam hanya karena
ingin menikah maka yang harus kita lakukan bukanlah menghina atau menolaknya
tetapi kita harus menerimanya dan kemudian membinanya terus menerus tentang
keislamannya.
"Pintu
adalah tempat lewat. Tidak ada orang yang mau berdiam diri di pintu selamanya,
walau di pintu rumah sekalipun," jelasnya memberi tamsil. Kader PKS yang
telah mengikrarkan diri sebagai da’i harus menjelaskan tentang kesempurnaan
(syumuliyatul) dakwah Islam yang bisa menopang kebangkitan Islam yang sedang
dinanti, katanya. [Am/Nico Rialdo]
[pks.or.id]
KH Rahmat
Abdullah, "Tempat Curhat Santri Kilat"
Nama Rahmat
Abdullah identik dengan halaqah dan daurah. Bila Ramadhan tiba dan pesantren
kilat (sanlat) marak dimana-mana, Ustadz Rahmat seolah tak punya waktu luang
untuk kegiatan lain. Jangan heran bila pria ramah ini diberi gelar 'PhD'.
"Bukan singkatan dari Philosophy of Doctor, tapi Pakar Halaqah dan
Daurah," candanya.
Keakraban dengan
sanlat dimulai sejak tahun 1980. Rahmat yang waktu itu sudah aktif mengisi
ta'lim mahasiswa, didatangi beberapa anak SMA yang ingin nyantri selama waktu
liburan. Rahmat bersedia. Selama ta'lim, ternyata semangatnya tak kalah dengan
para mahasiswa. "Mereka cukup militan, sesuai jiwa remajanya."
Pengalaman
pertama begitu menggoda, selanjutnya Rahmat sering 'melirik' anak-anak SMA
sebagai sasaran da'wahnya. Kebetulan, banyak orang tua yang meminta. Mereka tak
segan-segan menyulap rumahnya menjadi tempat ta'lim, menyediakan transportasi,
juga konsumsi. Ini berulang pada kesempatan liburan sekolah berikutnya, sampai
akhirnya anak-anak SMA itu menjelma jadi kader da'wah yang tangguh.
"Sekarang sudah banyak yang bergelar doktor dan menjadi ulama,"
akunya.
Selama pesantren
kilat berlangsung, tokoh gerakan Tarbiyah ini banyak memberi materi yang sifatnya
menantang. Misalnya kisah-kisah heroik kaum Muslimin, peradaban Islam, atau
tentang ancaman musuh-musuh Islam. Dengan begitu akan tumbuh komitmen terhadap
agamanya serta terbangun memori yang benar tentang Islam, tidak melulu gambaran
hebat dunia Barat yang selama ini banyak terekam. "Anak-anak kami ajak
melihat persoalan diri dan ummatnya, bukan cuma diri dan temannya."
Rahmat tidak
sekadar bertindak sebagai guru mengaji, tapi juga menjadi 'bapaknya anak-anak'
yang harus siap menerima curahan hati (curhat). Kadang terlontar pengaduan yang
tak terduga. Misalnya pengakuan jujur seorang anak yang pernah melakukan
hubungan seks dengan pacarnya, pecandu narkoba, atau mengadukan ayahnya yang
korupsi. "Curhat semacam itu tak bisa dilakukan kepada orang tuanya yang
sibuk," ujar ayah tujuh anak ini.
Khusus pesantren
kilat di bulan Ramadhan, waktunya bisa cukup panjang. Supaya tidak menjemukan,
Rahmat mengembangkan sistem pengajaran outbound yang variatif. Santri tidak
hanya diajak diskusi tentang keislaman, tapi juga bergembira dalam acara olah
raga, naik gunung, kemah, dan berbagai macam lomba. "Ternyata pesantren
tidak hanya identik dengan kitab kuning yang terkesan kuno," begitu kata
anak-anak.
Kalangan
eksekutif dan pegawai juga tertarik. Dan liburan Sabtu-Ahad merupakan saat yang
tepat. Istri atau suami dan anak-anak ikut serta, lantas menyewa vila sebagai
tempat ta'limnya. Beberapa keluarga ini hidup dalam sebuah komunitas yang penuh
keakraban, dan karenanya suasana itu senantiasa dirindukan. Bagi kalangan
menengah ke bawah, hidup di villa merupakan saat-saat menyenangkan seperti
halnya rekreasi. Cuma, tidak menjadi wisatawan, tetapi santri. Mau ikut?· (pam)
[www.hidayatullah.com]
Syaikhut
Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah:
"Ikhwanul
Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah"
Usianya belumlah
setengah abad. Tapi pembawaannya yang tenang kebapakan serta rambut dan
janggutnya yang sebagian telah memutih, mengesankan pria kelahiran Jakarta, 3
Juli 1953 ini lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sehingga cukup pantas bila
ia kerap dituakan dan disegani oleh lingkungan pergaulannya.
Dalam publikasi
acara Seminar Nasional "Tarbiyah di Era Baru" di Masjid UI, Kampus UI
Depok, awal bulan lalu, ustadz keturunan Betawi ini ditetapkan sebagai
pembicara utama (keynote speaker) serta disebut sebagai Syaikhut Tarbiyah;
sebuah jabatan yang belum populer di telinga masyarakat, termasuk di kalangan
aktivis da'wah dan harakah (pergerakan) selama ini.
Ketika
dikonfirmasi Sahid tentang jabatan tersebut, sambil tersenyum dan merendah
Rahmat membantahnya. Menurut Ketua Yayasan Iqro' Bekasi ini sebutan tersebut
hanyalah gurauan panitia yang kebetulan telah akrab dengannya. Rahmat sempat
mengajukan keberatan kepada panitia, tapi ternyata publikasinya sudah terlanjur
disebar. Akhirnya ayah dari tujuh putra-putri ini cuma bisa balik bergurau,
"Adik-adik mau nyindir bahwa saya sudah kakek-kakek ya? Syaikh itu kan
dalam bahasa Arab artinya kakek."
Boleh jadi
jabatan Syaikh Tarbiyah itu, seperti diakuinya, cuma gurauan atau sindiran
panitia. Tapi banyak orang percaya sejatinya suami Sumarni HM Umar ini memang
orang yang dituakan dalam gerakan yang bernama Tarbiyah. Apalagi mengingat di
kepengurusan Partai Keadilan (PK) Rahmat memegang amanat sebagai Ketua Majelis
Syuro dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Seperti dimaklumi, PK didirikan
dan disokong oleh para kader Tarbiyah.
Dalam seminar
nasional yang dihadiri ribuan aktivis dan simpatisan Tarbiyah, Rahmat mengawali
acara dengan orasi bertajuk "Kilas Balik 20 Tahun Tarbiyah Islamiyah di Indonesia
dan Langkah Pasti Menyongsong Masa Depan." Dalam kesempatan tersebut
dicanangkan tahun 1422 H ini sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di
Indonesia.
Dalam kancah
pergerakan Islam di Indonesia, nama gerakan Tarbiyah belum populer di kalangan
masyarakat awam. Kata tarbiyah lebih biasa dilekatkan orang pada Persatuan
Tarbiyah Islamiyah (Perti), sebuah ormas Islam yang berbasis di Sumatera Barat
dan pernah menjadi partai Islam.
Namun bagi orang
yang akrab dengan gerakan da'wah kampus, tidaklah merasa asing dengan sebutan
itu. Di era '80-an dan '90-an gerakan ini kerap juga disebut Ikhwan, karena
akrabnya aktivis Tarbiyah dengan manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan
Islam di Mesir yang pengaruhnya telah mendunia.
Dari orasi yang
disampaikan Rahmat, memori orang terpanggil lagi pada kenangan 20 tahun ke
belakang ketika aktivis Tarbiyah merintis gerakan ini di kampus-kampus dan
sekolah-sekolah. Salah satu tandanya adalah merebaknya pengajian usrah dan
halaqah di kampus-kampus. Tonggak lainnya, mulai maraknya pemakaian jilbab oleh
para siswi dan mahasiswi yang mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan
yang alergi terhadap syariat Islam. "Gedung sekolah dan semua peralatan
sekolah, termasuk Departemen Pendidikan yang dibangun 90% dananya dari ummat
Islam, harus mengusir putri-putri Islam karena mereka menggunakan busana demi
melaksanakan perintah agama mereka," ungkap murid kesayangan almarhum KH
Abdullah Syafi'i ini dalam orasinya.
Begitu banyak
pahit getir yang dirasakan, sehingga ada sebagian kader yang terputus dari
jalan perjuangan. Tapi banyak pula yang bersabar, terus bermujahadah menempa
diri dan menabung amal, bertahan hingga kini, menyemai insan dakwah ke seluruh
pelosok negeri. Hasilnya antara lain, jilbab jadi pakaian jamak bagi wanita di
negeri ini. Dari yang benar-benar penuh kesadaran berislam hingga yang masih
ikut-ikutan lantaran telah jadi mode.
Tentu saja itu
semua bukan cuma hasil kerja Rahmat Abdullah dan kawan-kawan seperjuangannya di
Tarbiyah. Tapi harus diakui saham harakah Tarbiyah bersama harakah-harakah lain
telah memberi itsar (bekas) perjalanan da'wah yang mengesankan di zamrud
katulistiwa tercinta ini.
Bagaimana sejarah
bermulanya harakah ini? Apakah benar terkait dengan Ikhwanul Muslimin yang
didirikan Hasan Al-Banna di Mesir? Kepada Saiful Hamiwanto, Pambudi Utomo dan
Deka Kurniawan dari Sahid, yang bertandang ke rumahnya yang sederhana nan asri
di Kompleks Islamic Village Iqro', Pondok Gede, Bekasi, kiai yang ramah ini
membeberkannya untuk Anda, para pembaca. Berikut ini kutipan dari sekitar tiga
jam perbincangan dengannya. Selamat mengikuti.
Dengan menggelar
seminar "Tarbiyah di Era Baru", gerakan Tarbiyah tampaknya mulai
membuka diri secara terang-terangan. Bahkan tahun ini dicanangkan sebagai 'Aam
(Tahun Kebangkitan) At-Tarbiyah. Apa latar belakangnya?
Bismillah, sangat
disadari bahwa setiap fase perjuangan itu menuntut sikap-sikap sesuai dengan
fase-fase tersebut. Sehingga ada doktrin dalam Tarbiyah yang disebut, likulli
marhalatin mutaqallabatuhaa (setiap fase itu ada tuntunannya); kemudian li
likulli marhalatin muqtadhayatuhaa, (setiap fase ada konsekuensi yang harus
dilahirkannya), dan likulli marhalatin rijaaluhaa (setiap fase ada orangnya,
tokohnya atau kadernya).
Kemudian, apa
yang kita sampaikan ketika dakwah ini mengalami satu fase yang berbeda dengan
masa lalu? Kemarin dakwah berhasil melalui masa-masa sulit, mengayuh diantara
dua persoalan dan kondisi, yakni kondisi melawan arus yang tidak terlawan
dengan kekuatan yang secara thobi'i (alami) susah dihadapi secara face to face,
serta kondisi larut.
Memang, dalam
fase itu, kita lihat banyak juga yang tidak memiliki istimroriyah
(kesinambungan), kontinyunitasnya tidak jelas. Kalaupun ada yang berjalan terus,
perkembangannnya menyedihkan. Ada juga yang berkembang tapi kehilangan asholah
(orisinalitas). Ini adalah kasus-kasus perjalanan dakwah dalam menghadapi rezim
yang represif dan tekanan budaya. Bisa jadi banyak yang larut. Seperti para
pengikut Nabi Isa, setelah beberapa lama malah jadi pengikut penjajah yang
nyaris menyalib Nabi Isa sendiri.
Nah, kita ingin,
keberhasilan melewati masa-masa kritis dan sulit semacam itu juga bisa kita
capai ketika keadaan ini berubah, karena tidak otomatis daya tahan itu ada.
Makanya harus dicanangkan sesuatu agar apa-apa yang menjadi doktrin Tarbiyah di
atas, bisa direalisasikan.
Bisa jadi, kader
yang dulu tahan menderita lama, tiba-tiba ketika segalanya terbuka seperti
sekarang ini, menjadi tidak tahan lagi. Kalau dulu kan jelas sekali
perbedaannya, furqon-nya, antara haq dan batil, sehingga akhlak para kader itu
selalu berlawanan dengan akhlak buruk orang-orang memusuhi mereka. Nah, setelah
keadaan ini terbuka, apa ada jaminan bahwa mereka tidak akan larut?
Memang, secara
doktrin sudah diantisipasi, misalnya dengan pemahaman tentang tamayyu'
(mencairnya nilai-nilai), idzabah (pelarutan), istifdzadzat (provokasi),
ighra'at (rayuan-rayuan), dan mun'athofat (tikungan-tikungan). Secara teoritis
kita tahu semua tentang itu. Tapi ketika kita menjalaninya, apakah kita cukup
siap?
Maka pencanangan
ini beranjak dari kenyataan, dimana sebuah komunitas dakwah sedang mengalami
fase-fase lain yang berbeda dengan fase ketika mereka dibesarkan dulu.
Pencanangan ini untuk menyiapkan sesuatu yang secara teoritis sudah mereka kenal,
tetapi secara komunal, penghayatan, apresiasi perlu dihadapi secara lebih
serius agar tidak menimbulkan persoalan yang rumit yang menyebabkan taurits
(pewarisan) itu menjadi terputus.
Dulu dimulai satu
langkah dan hasilnya adalah hari ini. Bagi yang tidak mau melihat hasil yang
sama di hari nanti, ya sekarang diam dan tidur saja. Tapi kalau ingin melihat
terus-menerus keadaan seperti ini, maka harus bergerak untuk masa mendatang.
Ini terutama yang melatarbelakangi pencanangan 'Aam At-Tarbiyah (Tahun Tarbiyah).
Tapi perlu
dicatat bahwa pengertian tarbiyah (pendidikan) ini tidak menafikan proses
tarbiyah yang terjadi di Indonesia sejak dulu. Tanpa proses tarbiyah, bagaimana
mungkin walisongo dapat melahirkan pejuang-pejuang handal. Apapun namanya,
apakah itu pengkaderan dengan 't' kecil (tarbiyah), yang jelas itu adalah
proses pendidikan. Namun Tarbiyah yang sedang kita perbincangkan dalam konteks
ini adalah dengan 't' besar, Tarbiyah (sebagai nama sebuah gerakan, red).
Wanti-wanti
tentang pelarutan ini pernah Anda sampaikan waktu Munas PK tahun 2000. Apakah
memang anda sendiri sudah melihat kecenderungan itu, sehingga perlu ada
pencanangan ini?
Kalau kita baca
sirah (sejarah), Rasululllah pernah berpesan diantaranya "ma al-faqru bi
akhsya alaikum, bukanlah kefakiran yang aku takutkan dari kalian, tapi aku
mengkhawatirkan apabila bumi di buka (dimenangkan) lalu kamu bersaing
memperebutkan dunia, sehingga kamu celaka, sebagaimana celakanya orang-orang
sebelum kamu." Dulu, kesulitan itu membuat segalanya terbatas, dan kita berhasil
melewatinya. Contohnya, kita tidak punya villa, tapi bisa menikmati banyak
villa. Dan kawasan Puncak (Bogor, red) yang dianggap identik dengan maksiat,
seperti hari ini bisa berubah sebagai tempat acara pengajian karena seringnya digunakan
untuk pengkaderan oleh semua pihak, diantaranya oleh kalangan Tarbiyah.
Wanti-wanti rasul
itu, dalam kaitan ini, menegaskan bahwa setiap kondisi ada pengaruhnya. Kalau
dulu, setiap waktu mereka bisa bertemu, sehingga kesalahan sedikit saja bisa langsung
diketahui. Tapi ketika mereka sudah ada di kawasan yang menggiurkan, secara
massal tantangan akan semakin keras. Sesuatu yang menggiurkan, kalau baru
cerita, masih bisa bilang tidak mau. Tapi kalau sudah sudah di depan mata,
bagaimana mungkin tidak tidak tergoda.
Supaya tidak
larut, mereka jangan sampai lupa kepada akarnya. Makanya, pemantapan nilai
Tarbiyah dalam pencanangan ini tidak bisa kita abaikan, meskipun sekarang
mereka masih rutin bertemu setiap pekan dengan muhasabah (evaluasi) dan muraqabah
(pengawasan).
[hidayatullah.com]
KH. Rahmat
Abdullah (Ketua Majelis Syuro PK):
"Saya
Ingin Lebih Banyak Menggali Ilmu dan Menyebarkan Dakwah Ini"
Bawaannya yang
teduh dan khusyu', kadang diselingi canda selalu menjadi ciri khasnya. Di
tengah usianya yang sudah 'sepuh', ustadz asli Betawi ini tetap bersemangat
menda'wahkan Islam. Beliau ingin agar ada tunas-tunas muda PK yang menggantikan
dirinya. Kepada Suara Keadilan Al-Ustadz Rahmat Abdullah menuturkan kisah
hidupnya. Selamat menyimak !
Bisakah
diceritakan aktifitas sehari-hari ustadz?
Selain ibadah
harian rutin, biasanya saya membaca. Dan itu tak bisa ditawar-tawar. Apa saja ;
buku, majalah, surat kabar, internet/e-mail, Alqur-an dengan tafsirnya, hadits
dengan syarahnya. Urusan rumah tangga, biasanya saling bantu. Dari menyiapkan
sarapan anak-anak sampai ganti bola lampu yang kadang dalam setahun bisa sampai
setengah lusin pertitik mata. Ini listerik Indonesia, sebelum dan sesudah
masuknya modal Soros. Selain itu kegiatan da’wah ; mengisi tabligh di
masjid-masjid lingkungan, masjid kantor dan kampus, atau pengajian rutin
khsusunya di masjid Alqalam Islami Center IQRO’ tempat saya bermukim.Biasanya
dengan modul atau baca kitab. Sepekan dua hari @ 4 jam pelajaran saya mengisi
di kelas SLTPI Terpadu IQRO’. Lepas subuh sampai jam 08.00 harus melayani
penelepon, yang kalau saya keluar sebelum fajar, biasanya mereka kejar pada
malam harinya atau langsung ke HP. Temanya dari permintaan berceramah, fatwa,
konsultasi jodoh & keluarga termasuk problem inter relasi dan krisis Samara
(sakinah, mawaddah & rahmah).
Soal riwayat
pendidikan gimana ustadz?
Disamping SDN,
seperti umumnya generasi saya, pagi mengaji (Bacaan Al-qur-an, baca tulis Arab,
kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil
terjemah dan syarah ustadz. Tahun 1966 lulus SD yang tahun ajarannya
diperpanjang ½ tahun, gara-gara peristiwa G-30-S/PKI, kemudian masuk SMP.
Keluar lagi karena ironi, koq sementara aktif demonst rasi KAPPI &
KAMI/angkatan 66, hari Jum’at sekolah masuk pukul 11.30. shalat Jum’atnya
bagaimana. Permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/68 ?) masuk Ma’ahid
Assyafiiyah. Hasil test dan interviu, saya harus duduk di kelas II Madrasah
Ibtidaiyah (tingkat SD). Coba-coba lobby seorang ustadz, test ulang dan naik
jadi kelas III. Ini tahun yang sangat berbekas. Ikut mengaji pada seorang
ustadz senio MTs. yang sangat streng berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab,
eh, ternyata tak lama sesudah itu guru kelas saya sama-sama mengaji disana.
Tahun ini sampai kelas V (naiknya loncat kelas), berkat ilmu nahwu dasar,
terkuaklah misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, radio RI untuk
siaran ke dua Arab, yang selama ini saya dengar di rumah, karena ayah sangat
mementingkan komunikasi dan informasi, yang karenanya berusaha punya radio yang
sebenarnya jadi status symbol orang-orang kaya zaman itu, betapapun beliau
miskin. Kelas V langsung ujian dan melanjutkan di Mts. Assyafiiyah. Di Madrasah
Tsnawiyah sudah diajarkan ushul fiqh, mustalah hadits, psikologi & ilmu
pendidikan, disamping materi-materi standar lainnya ; nahwu, sharf, balaghah.
Kegiatan lain ialah kegiatan talaqqi, biasanya kajian langsung dengan para
masyaikh/kiayi. Pada dasarnya kerja keras menggali dan meneliti merupakan
faktor dominan sesudah taufiq dan hidayahnya. Tanpa mengurangi hormat dan
respek kepada mereka yang telah berjasa, kiranya tanggungjawab ilmiah dan
amaliah harus kita berikan langsung sendirian di hadapan ALLAH saat
pendengaran, penglihatan dan hati dimintai pertanggungjawaban atas kerja
mereka.
Kabarnya
pertemuan ustadz dengan istri punya cerita tersendiri?
Kadang kita
melihat sesuatu bertahun-tahun tanpa mengerti apa maknanya bagi kehidupan kita
kelak. Ia adalah mosaik ingatan sejarah yang belakangan tersusun sesudah rumah
tangga terbangun. Tidak ada yang istimewa bagi ingatan sejarah seorang santeri
kelas II Mts. yang mengasah ilmunya dengan mengajar, ketika seorang siswi kelas
I M.Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun) ditemukannya laik menjadi nominator juara I
untuk praktek ibadah (shalat). Dan tahun-tahun terlewatkan sudah. Ketika
keluarga ini – tanpa sadar dan semata-mata hormat mereka kepada aktifis da’wah
dan pendidikan - menjadi semacam kahfi perlindungan dalam suasana represif yang
berat (saya beberapa kali diwonted untuk urusan yang sekarang jadi sangat
menggelikan). Ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah
waktunya memikirkan bangunan rumah tangga, barulah tersadari usia sudah
memasuki tahun ke 32. Malam itu, malam Kamis 14 Ramadlan 1405 H. (1984 M),
bertiga ; saya, ibunda dan bibi datang mengkhitbah. Seorang ustadz yang jadi
juru bicara keluarga calon isteri menawarkan gagasan rada aneh. Ketika saya
ajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah SAW.
dikatakannya, itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan
seperti pilihan ini. Maksudnya, untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15
Ramadlan. Ini bukan khurafat, nujum atau takhayul, melainkan tafaul. Di
kalangan generasi da’wah kala itu, sikap separatisme batin sangat terasa dan
mempengaruhi gerak lahir. “Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje”. Bah,
ini rada-rada ketemu. Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadlan
itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, ini mau kemana sih ? Belum sebulan
menikah, di pagi buta ba’da subuh dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa
penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam dan paginya langsung
meninjau lokasi yang porak poranda. Lucu juga, mertua usul agar isteri diajak
juga keliling berbagai kota di Jawa untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang
kerennya disebut ‘konsolidasi’lah.
Bagaimana kiat
ustadz mendidik istri dan anak ditengah kesibukan yang melimpah? Menanamkan
tsiqah (keyakinan) bahwa da’wah bukan kerja main-main. Sedikit apapun waktu
yang tersisa untuk mereka selalu harus bermakna dan menjadi kompensasi
kehilangan itu. Tidak ada dusta walaupun hanya untuk menenangkan seseorang yang
gelisah. Kalau ada janji dengan mereka yang terpaksa dibatalkan, itu harus
difahami sebagai pengorbanan bagi hal yang lebih penting dari sekedar keperluan
mereka. Efeknya memang lumayan. Anak-anak tidak akan membiarkan orangtuanya
punya kesempatan mengganti tidur yang kurang saat telepon berdering atau tetamu
datang. Mereka tidak punya jawaban : “Tunggu ya, Abi capek/ngantuk, tidur
dulu”. Sejak awal isteri mendapatkan wawasan bahwa bagi seorang da’i, baca
koran atau majalah itu bagian dari kerja, seperti para buruh dan pegawai itu
bekerja di kantor dan lapangan kerja mereka. Jadi tak boleh dianggap sedang
‘nganggur’ (mungkin dulu buah anggur itu dikenal masyarakat Melayu dari
penjajah mereka tanpa bisa menjangkaunya, karena harganya amatlah mahal.
Karenanya memimpikan makan anggur memang tak pernah menghasilkan apa-apa
kecuali khayalan, berbeda dengan makan kecapi yang tiap waktu boleh dipetik,
bahkan asal timpuk). Imbangannya, mereka punya hak untuk kumpul bersama (sayang
belum terjadwal secara rutin). Hal utama yang harus disemai ialah iman,
harapan, kejujuran, persaudaraan & kepedulian. Anak-anak lahir dengan
bawaan yang berbeda. Semua mereka harus punya tempat di hati ayah-ibu mereka.
Terkadang muncul kecemasan atas perbedaan-perbedaan ini. Betapa tidak, ada anak
yang marahnya serius ketika tidak dibangunkan sahur Senin atau Kamis sampai
lemah semangatnya hari itu. Sementara ada yang masih perlu terus diingatkan
untuk disiplin shalat. Dari sini kami belajar bagaimana menjadi arif bijaksana
dan sabar. Arif untuk bisa memahami kegelisahan, ketakutan, keterasingan,
harapan, kegembiraan dan kegembiraan mereka, dengan parameter dan modal
pengalaman mereka yang hijau. Bijaksana untuk mengkomunikasikannya dengan
bahasa mereka. Sabar untuk tidak menghakimi mereka seperti menghakimi orang
dewasa yang bahkan kerap lebih beruntung mendapatkan pembenarana-pembenaran
atas pelanggaran mereka dibanding anak-anak. Banyak teori pendidikan yang terus
dicoba, namun satu hal yang tak boleh dicoba-coba ; doa. Bila doa seorang
muslim untuk saudaranya yang jauh atau di luar pengetahuannya (Addu’a bi
zahri’l ghaib) itu dijamin terkabul dan malaikat mengaminkan serta mendoakan si
pendoa, betapakah doa seorang ayah untuk kebaikan mereka tidak demikian ? Kalau
kita mendapatkan larangan untuk membaca Alqur-an dalam ruku’ dan sujud, tentu
tidak demikian dalam mengutip doa-doa Alqur-an. Karenanya, sudah bukan sekedar
hafal, tetapi jadi refleksi kata untuk mengulangi doa dalam Qs. 46;15/
25;74/14;40-41) dalam berbagai situasi, khususnya dalam sujud malam yang tak
seberapa itu.
Selepas Munas I,
bagaimana perasaan ustadz setelah terpilih jadi Ketua MS?
Cuma pindah
ruang, tanggungjawab da’wah satu dengan variasinya masing-masing. Semuanya
berjalan dengan prinsip “Wattaqu’LLAH wa yu’allimukumu’LLAH” (bertaqwalah kamu
kepada ALLAH dan nanti ALLAH akan ajarkan kamu/Qs. 2;282). Selalu terbayang
ungkapan sahabi Sa’d bin Waqash RA, sesudah melewati masa-masa sulit
diantaranya bertujuh bersama Rasulu’LLAH SAW dalam sebuah perjalanan jihad,
tanpa makanan tanpa selimut dan mereka hanya dapat makan rumpun padang pasir.
Saat ketujuh sahabat tersebut masing-masing sudah menjadi amir atas suatu
negeri, ia berkata : “Aku berlindung kepada ALLAH, agar jangan menjadi besar di
mataku dan menjadi kecil di Mata ALLAH”
Bisa diceritakan
bagaimana sampai bisa terpilih jadi ketua MS?
Mengalir begitu
saja, tak pernah mimpikan posisi ini. Bahkan nyaris terlupa-kan, seperti sudah
terjadi berabad-abad.
Apa harapan
setelah terpilih jadi Ketua MS?
Dapat segera
meratifikasi produk-produk konstitutif partai yang menjadi acuan kerja dan
memudahkan aplikasinya, sehingga ummat lebih banyak lagi menda patkan berkah.
Kemudian tumbuh suasana kerja yang lebih kondusif, kader yang lebih sensitif
dan terampil serta lembaga yang bergerak sesuai alur, peran, wewenang dan
tanggungjawabnya. Hal lain yang sangat saya rindukan,segera disusul dan
digantikan oleh kader-kader yang lebih muda. Saya ingin lebih banyak menggali
ilmu dan menyebarkannya serta menyemarakkan da’wah ini. Lorong-lorong,
gubug-gubug ummat, derak dan dentaman roda dan gerbong KA, ayunan ombak laut,
kesunyian angkasa, kawasan-kawasan nun jauh, lembaran-lembaran majalah dan buku
yang harus dibaca dan ditulis dan wajah-wajah penuh harapan kader-kader muda
bangsa adalah nafas kehidupan yang mungkin lebih akrab. Harus tampil lebih
banyak lagi kader yang sarat dengan nilai-nilai langit, khusyu dan tawadlu’
dalam haq, tidak kemaruk jabatan dan norak bila jadi pejabat tinggi, tangkas
terampil membela ummat dan kaya dalam berbagai variasi solusi masalah-masalah
mereka. Sejak remaja selalu berkibar obsesi khas disamping kegiatan lapangan,
yaitu menyambung mata rantai tradisi kajian lama. Ini adalah keprihatinan para
ulama amilin akan langkanya kader yang tekun di bidang kafaah (skil) syar’iyah.
Sarjana pengangguran sudah banyak, tetapi adik-adik mereka tetap menuju kubangan
yang sama. Kapan ada wali murid atau siswa sendiri yang punya obsesi mendalami
kitab-kitab klasik. Orang ributkan biaya pendidikanyang mahal. Lesehan baca
kitab adalah pendekatan murah, meriah dan (lebih) berkah.
Apa program yang
sudah dilaksanakan oleh MS?
Di Munas, Majelis
Syura memilih Ketua, Wakil Ketua dan sekretaris Majelis Syura, Presiden,
Sekjen, ketua-ketua Dewan Pimpinan Pusat, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris
Majelis Pertimbangan Partai, Ketua dan wakil Ketua Dewan Syariah. Sidang
majelis Syura 24-25 Juli 2000 berhasil meratifikasi AD/ART, Kebijakan Dasar
Partai, Forum Pengambilan Keputusan, sebagai amanah Munas.
Apakah PK tetap
akan dipertahankan dan ikut Pemilu 2004?
Dari pihak
internal PK sendiri tentu. Soal eksternal, lihat aturan mana yang akan disahkan
(baca ; dimenangkan). Bila kiblatnya menang-menangan, maka partai dengan
perolehan suara banyak akan berusaha menjegal, apa lagi keberadaan PK jadi
cermin yang menyilaukan mata. Aib KKN mudah kentara mengkhianati bangsa tak
nyaman lagi. Tetapi bila mereka berkiblat pada asas amanah, keadilan dan
kebenaran, semua kepentingan tersebut pastilah ditinggalkan.
Tanggapan ustadz
tentang kondisi Indonesia saat ini dan apa penyebabnya?
Inilah puncak
krisis terburuk. Ancaman diintegrasi, konflik & krisis moral ; vertikal
& horizontal. Vertikal dengan buruknya kinerja pemerintahan. Bangsa yang
kaya SDM ini gagal mencetak kader. Pepimpin terdahulu telah mengotori
putera-puteri terbaik bangsa dengan KKN sehingga selalu kena ranjau diskualifikasi
untuk maju ke arena. Sukar mendapatkan legitimasi. Horizontal begitu mudah
timbul benterokan antar etnik atau bahkan sekedar tetangga. Dulu istilah guru
dan pelajar sangat mengesankan. Sekarang melihat kumpulan pelajar, masyarakat
jadi ngeri akan jadi tawuran massa. Semua berhulu pada materi. Untuk sekedar
kesenangan orang bisa jual kehormatan dan iman. Barangsiapa yang punya bashirah
akan melihat jiwa yang menangis tersayat perih pada diri pelajar yang mengecat
baju mereka, merobek lutut jeans mereka, menari latar dengan dandanan norak,
menggoda eksekutif muda di malmal, terlibat jaringan narkoba. Demikian pula
pada buruh yang dihina dan tak mendapatkan hak-hak, termasuk untuk shalat
dengan aman dan nyaman di tempat kerja mereka.
Lantas solusinya
bagaimana? Mungkinkah Indonesia akan bangkit lagi?
Pada saat Thariq
bin Ziad menginjak tanah Andalus dan segera memusnahkan kapal-kapal, kepada
pasukan ia ajukan dua kata kunci : “Kejujuran dan kesabaran”. Indonesia tidak
lebih sulit daripada Thariq dan pasukannya, yang seperti ia sendiri sifatkan
‘lebih hina daripada anak-anak yatim di pesta pora kaum durjana’. Karena para
pemimpinnya mayoritas muslim, maka sudah saatnya kembali kepada Islam dan
berhenti mempermainkan dan memphobikan agama. Semua solusi pernah dicoba,
kecuali solusi Islam. Ibarat pedagang obat, ummat Islam diancam tak boleh
menjajakan obatnya. Tanpa tes, tanpa bukti lapangan, mereka katakan obat Islam
itu kuno, tak mempan dan beracun. Padahal Indonesia dan dunia di hampir sepenuh
abad 20 ini telah menyaksikan ketidak becusan berbagai obat, bahkan kandungan
racunnya sudah menghancurkan bangsa-bangsa. Yang otoriter telah memangkas
begitu banyak potensi dan yang liberal telah membiarkan manusia meluncur atas
nama hak asasi.
Bagaimana menurut
ustadz kriteria seorang pemimpin (presiden) di Indonesia?
Ia harus dekat
dengan tuhannya dan dekat dengan rakyatnya. Tidak harus seorang presiden itu
sufi dalam gambaran awam, karena kesufiannya cukup dengan kecakapan memimpin
tim dan mendeteksi dengut nadi rakyat. Ia tak boleh membohongi rakyat dengan
membiarkan mitos berkembang sekitar dirinya, apa lagi sengaja membuat-buat
mitos. Idealnya seperti kriteria Alqur an : kuat, amanat (28;26), pemelihara,
penampung aspirasi, visioner (12:55), santun dan kasih (9;128). Dayyuts tak
pantas jadi presiden, bahkan jadi suami dan bapak sekalipun. Mereka Cuma bisa
menyenangkan rakyat dengan memberikan kebebasan semu. Diperlukan tangan besi
dan hati salju pada tempat yang tepat. Bila melenceng, rakyat jadi anarki,
harakiri, rendah diri, pendendam, apatis dan pemeras. [imn]
[pks.or.id]
KH Rahmat
Abdullah (In Memoriam)
PKS Online: KH
Rahmat Abdullah dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 3 Juli 1953. Putra
kedua dari 4 (empat) bersaudara ini hidup dari keluarga asal Betawi yang
sederhana dan taat beragama. Pada usia 11 tahun ia harus menapaki hidupnya
tanpa asuhan sang ayah, saat itu ia mulai berstatus sebagai seorang anak yatim.
Awal pendidikan
resminya, disamping dididik oleh kedua orangtuanya, ia memasuki sebuah perguruan
Islam yang terkenal di Jakarta, Perguruan Asy-Syafi'iyah bimbingan KH Abdullah
Syafi'i (tokoh Islam yang berwibawa di kota ini) hingga menamatkan sekolah
tingkat Aliyah (tingkat menengah) dengan prestasi yang gemilang.
Rahmat Abdullah
muda sangat berbeda dengan kaum remaja seusianya pada saat itu. Ia taat
beribadah, disamping mempunyai karakter dan akhlaq yang mulia. Hari-harinya
dihabiskan untuk belajar, membaca dan membaca. Bahkan di usianya yang sangat
muda, ia telah memposisikan dirinya sebagai guru ditempat ia menuntut ilmu.
Dunia ilmu adalah
dunia yang sangat melekat dalam dirinya. Kegemarannya membaca al Qur'an dan
aneka buku membuat ia jauh lebih cepat matang dibandingkan dengan remaja-remaja
lain pada umumnya.Di saat inilah ia banyak membaca pikiran-pikiran para tokoh
perjuangan, seperti HOS Cokro Aminoto, Moh. Natsir, Hasan Al-Banna, Sayyid
Qutb, Maududi dan tokoh-tokoh lainnya.Di samping ia tetap menekuni kitab-kitab
klasik (kitab kuning) sebagai warisan sejarah.
Kebersihan
jiwanya telah mengantarkan Rahmat Abdullah menjadi pemuda pembelajar cepat yang
sangat cemerlang seperti sebuah lautan ilmu tanpa menyandang gelar. Ia
perpaduan antara khazanah ilmu-ilmu keislaman klasik dan pandangan Islam modern
yang tidak dimiliki oleh banyak orang yang berlabel sang ustadz.
Dunia seni dan
sastra sebagai media komunikasi budaya juga merupakan bagian bagi dirinya yang
tak pernah lepas. Antara bakat dan semangat yang telah melekat. Ia gemar dzikir
dan fikir, membaca fenomena alam yang kemudian diekspresikan dalam bentuk
produk seni, seperti puisi, esai, butir-butir nasyid dan naskah drama. Oleh
karena itulah banyak orang cenderung menjulukinya sebagai seorang “budayawan”.
Sebagai da’i
sejati, ia habiskan waktu, tenaga serta pikirannya untuk kegiatan da’wah. Siang
dan malam dilaluinya pengajian demi pengajian tanpa mengenal lelah dan keluh
kesah. Ia menjadi tempat anak-anak muda berkonsultasi, berbagi rasa, curahan
hati tanpa ada batas waktu “pelayanan ummat”. Itulah peran yang ia mainkan
hingga kini.
Sebagai seorang
Muballigh, ia dikenal memiliki karakter yang khas. Kemampuan retorika tinggi
yang dihiasi oleh sentuhan sastra yang unik, acap kali membuat para pendengar
menangis sebagaimana kemampuan ia membangkitkan semangat yang menggelora ketika
ia mengangkat isu tentang jihad.
Beliau juga aktif
mengisi ceramah di radio dan televisi. Beliau adalah pengisi rutin rubrik
“Titik Pandang Rahmat Abdullah” di Radio Dakta Bekasi setiap Sabtu jam 06.30
WIB. Di radio ini pula beliau menggagas rubrik SAMARA yang disiarkan setiap
malam Rabu.
Sebagai seorang
penulis, beliau aktif menulis buku dan mengisi rubrik di beberapa majalah
Islam, seperti majalah Sabili, Islah, Saksi, Ummi, dan Tarbawi. Di majalah yang
disebutkan terakhir inilah, beliau secara rutin mengisi rubrik Asasiyat yang
kemudian oleh Pustaka Dakwatuana diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul
“Untukmu Kader Dakwah” pada tahun 2005.
Awal tahun 80-an,
ia memasuki dunia harokah Islamiyah yang pada saat itu mulai tumbuh di
Indonesia hingga menghantarkan beliau sebagai pakar dalam bidang Tarbiyah,
majalah Sabili pernah memberinya gelar “Syaikh at Tarbiyah” pada tahun 2001.
Dengan bermodalkan sepeda motor tua ia masuk kampung keluar kampung, masuk
kampus keluar kampus menabur fikrah Islamiyah yang shahih dan syamil. Fikrah
Ikhwanul Muslimin yang didistribusikan ternyata mendapat sambutan yang hangat
dari berbagai kalangan yang kemudian menjadi cikal bakal berdirinya PKS.
Awal tahun 90
beliau memasuki pengembangan dunia pendidikan dan sosial secara formal, sebagai
wujud dari kepeduliannya terhadap lingkungan. Ia mendirikan ISLAMIC CENTER
IQRO’ yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan da’wah di wilayah
Bekasi, Jawa Barat. Di sinilah ia menetap dan disinilah ia berekspresi
mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik setiap Ahad pagi.
Proses perjalanan
da’wah yang panjang akhirnya telah menggiringnya pada keterlibatan dalam dunia
politik yang kini ia geluti. Partai Keadilan yang kemudian berubah menjadi
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), adalah bagian dari dirinya. Ia salah satu
pendiri dari partai yang berbasis islam intelektual itu.
Posisi tertinggi
dalam partai, yang pada saat ini diperhitungkan itu, telah dicapainya. Sebagai
bentuk kepercayaan penduukung terhadapnya. Disamping ia menjabat sebagai Ketua
Majelis Pertimbangan Partai (MPP) dan Majelis Syuro, iapun menjabat sebagai
anggota DPR-RI (parlemen).
Hari-harinya
diwarnai oleh kesibukan yang luar biasa. Mengajar, ceramah di berbagai stasiun
radio dan televisi, mengisi seminar-seminar keislaman di berbagai daerah dan
luar negeri, menulis artikel di sejumlah media cetak, disamping melakukan tugas
lobby politik dengan berbagai kalangan.
Di akhir
hayatnya, beliau masih sempat mengikuti rapat Lembaga Tinggi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), Selasa (14 Juni 2005) di Gedung Kindo Duren Tiga Jakarta
Selatan yang dimulai ba’da Ashar sekitar jam 16.30 WIB. tak ada tanda-tanda
kalau beliau sedang sakit. Wajahnya cerah seperti biasa. Namun, ketika beliau
wudhu untuk menunaikan shalat Maghrib, beliau merasakan sakit di sekitar
kepalanya. Beliau sempat diperikas dr. Agus Kushartoro, Direktur Bulan Sabit
Merah Indonesia (BSMI). Ia dinyatakan terkena stroke. Sempat dibawa ke rumah
sakit Triadipa Pancoran, akan tetapi karena peralatannya kurang memadai, beliau
lalu dibawa ke rumah sakit Islam Cempaka Putih, Jakarta. Namun di tengah
perjalanan, beliau dipanggil Allah Swt. Beliau wafat dalam usia 52 tahun,
meninggalkan satu istri dan tujuh orang anak.
SELAMAT JALAN
MUJAHID DAKWAH. MURIDMU, KADER-KADERMU AKAN MENERUSKAN CITA-CITA DAN
PERJUANGANMU.
SEKIAN..
saya IBU WINDA posisi sekarang di malaysia
BalasHapusbekerja sebagai ibu rumah tangga gaji tidak seberapa
setiap gajian selalu mengirimkan orang tua
sebenarnya pengen pulang tapi gak punya uang
sempat saya putus asah dan secara kebetulan
saya buka FB ada seseorng berkomentar
tentang AKI NAWE katanya perna di bantu
melalui jalan togel saya coba2 menghubungi
karna di malaysia ada pemasangan
jadi saya memberanikan diri karna sudah bingun
saya minta angka sama AKI NAWE
angka yang di berikan 6D TOTO tembus 100%
terima kasih banyak AKI
kemarin saya bingun syukur sekarang sudah senang
rencana bulan depan mau pulang untuk buka usaha
bagi penggemar togel ingin merasakan kemenangan
terutama yang punya masalah hutang lama belum lunas
jangan putus asah HUBUNGI AKI NAWE 085-218-379-259 tak ada salahnya anda coba
karna prediksi AKI tidak perna meleset
saya jamin AKI NAWE tidak akan mengecewakan